Info
|
Profil G+ Profil Facebook Profil twitter
Home » » Seperti Prosedur ISO, Badan Sertifikasi Halal MUI tak Perlu Dipersoalkan

Seperti Prosedur ISO, Badan Sertifikasi Halal MUI tak Perlu Dipersoalkan

Written By xxxxx on Sabtu, 01 Maret 2014 | 08.58


Elemen umat Islam Indonesia berharap agar sertifilkasi halal produk-produk konsumsi tetap ditangani oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai lembaga independen, bukan yang lain.

Forum Umat Islam (FUI) sebagai wadah silaturrahim ormas-ormas Islam menegaskan bahwa peran MUI sebagai badan sertifikasi halal untuk melindungi konsumen Muslim masih sangat dibutuhkan dan tidak perlu dipersoalkan.

“Kita masih percaya MUI dengan LPPOM-nya sebagai pihak yang punya otoritas untuk sertifikat halal,” kata Sekjen FUI Muhammad Khathath kepada hidayatullah.com, Jum’at (28/02/2014).

Sebagai lembaga profesional, setup sistem sertifikasi yang diterapkan oleh Majelis Ulama Indonesia memiliki prosedur yang nyaris sama dengan prosedur sertifikasi ISO (International Organization for Standardization) untuk perusahaan.

ISO adalah badan penetap standar internasional yang terdiri dari wakil-wakil dari badan standardisasi nasional setiap negara. ISO menetapkan standar-standar industrial dan komersial dunia.

Sementara itu, konsultan manajemen perusahaan dari LIA Consulting, Reko Handoyo, menjelaskan untuk mendapatkan sertifikasi ISO harus melalui tahapan pemeriksaan, konsultasi, hingga mendapatkan sertifikasi.

“Biaya akomodasi, perjalanan, tiket, penginapan, insentif, dan lain-lain semuanya ditanggung oleh pihak pengaju sertifikasi atau perusahaan,” kata Reko Handoyo dalam perbincangan dengan hidayatullah.com, Jum’at (28/02/2014).

Reko menjelaskan, biayanya umumnya dibagi dua yakni untuk konsultan dan pihak pemberi sertifikasi. Konsultan mendapat antara 25 juta sampai 30 dan pihak pemberi sertifikasi mendapat kurang lebih sama.

“Itu sepenuhnya ditanggung oleh perusahaan pengaju. Mulai dari akomodasi dan lain lain ditanggung oleh yang mengajukan sertifikasi. Paling cepat bisa 2 bulan,” kata dia.

Menurut Reko, semua perusahaan memungkinkan mendapatkan sertifikat ISO, tinggal bagaimana melakukan setup sistem manajemen perusahaan. Pihak konsutlan biasanya memberikan garansi sampai pihak pengaju dapat menerima sertfikat ISO yang telah diajukan.

“Tim konsultan pasti akan melakukan survey lapangan. Syarat mendapatkan ISO itu harus sudah ada perusahaan atau jasa serta sudah running walapun baru beberapa tahun,” ujarnya.

Menurut Reko mengambil contoh sertifikasi halal MUI dengan sertifikasi ISO memiliki prosedur yang sama. Kalau MUI dalam menetapkan sertifikasi harus melalui uji laboratorium, diambil sampel, diuji, kemudian dilihat kandungannya. Sementara untuk sertifikasi ISO seperti sertifilat ISO 9001, 22000, 1400, 1800, itu menelaah berkaitan dengan sistem manajemen perusahaan.

“Kalau MUI itu mendekati angka antara ISO 9001 dan 22000. Karena MUI itu mensertifikasi produk yang berkaitan dengan ISO 22000, bukan jasa. Sertifikasi ISO juga memberi sertifikasi produk tapi produk jasa, seperti jasa keamanan. Itu konsepnya sama, juga ada uji lapangan segala macam,” kata Reko.

Ia menegaskan bahwa standar ISO itu tidak menyinggung mengenai halal atau tidak halal sebab hal itu merupakan domain MUI. ISO hanya menyinggung apakah itu bisa dikonsumsi manusia atau tidak. Kalau tidak boleh dikonsumsi oleh manusia maka tidak boleh diberikan sertifikasi ISO kepada perusahaan dan tidak boleh beredar.

Yang menjadi persoalan, jika untuk mendapat ISO perusahaan harus menanggung biaya akomodasi, pemeriksaan dan lain-lain, apakah ketika MUI memperlakukan hal sama menjadi persoalan?*

Rep: Ainuddin Chalik
Share this post :

Posting Komentar