Info
|
Profil G+ Profil Facebook Profil twitter
Berita



Sejarah

Artikel

Mengetuk Pintu Syurga


Bagaimana cara mengetuk pintu syurga?

Al-Hasan meriwayatkan bahwa, “Suatu ketika Rasul Saw. pernah memberi nasihat kepada isteri tercintanya, Aisyah ra., ‘Biasakanlah mengetuk pintu syurga. Niscaya ia akan dibukakan untukmu.’ Aisyah pun tampak kebingungan dan bertanya, ‘Bagaimana kami bisa mengetuk pintu syurga?’ Beliau menjawab, ‘dengan rasa lapar dan haus.’”

Ibn Abbas berkata, “Rasul bersabda, ‘Orang yang kenyang perutnya lalu tertidur, hatinya akan mengeras.’ Kemudian beliau bersabda, ‘Bagi segala sesuatu itu ada zakatnya, dan zakat bagi tubuh adalah rasa lapar.’”

Dalam hadis mursal dikatakan, “Sesungguhnya setan berjalan mengikuti aliran darah anak cucu Adam; karena itu, persempitlah jalan setan itu dengan cara menahan lapar dan haus.”
Nabi Saw. bersabda, “Orang beriman makan dengan satu usus, sedangkan orang munafik makan dengan tujuh usus.”
“Perangilah nafsumu dengan rasa lapar dan haus karena sesungguhnya pahala dalam hal itu seperti pahala berperang di jalan Allah. Tidak ada amal yang lebih dicintai Allah kecuali rasa lapar dan haus.”

Ibnu Abbas pernah bertanya kepada Rasul, “Siapakah manusia yang paling mulia?” Dan beliau menjawab, ‘Orang yang sedikit makan dan sedikit tertawa, serta ridha dengan pakaian sederhana yang menutupi auratnya.”

Al-Hasan berkata, “Nabi Saw. pernah bersabda, ‘Berpikir adalah sebagian dari ibadah, sedangkan makan secukupnya adalah ibadah penuh.’”

Umar ra. Pernah berkata, “Hati-hatilah terhadap rasa kenyang. Sesungguhnya ia merupakan beban dalam kehidupan dan sumber malapetaka setelah kematian.”

Dan, masih banyak hadis dan riwayat sahabat lainnya yang membahas tentang keutamaan menahan hawa nafsu terkait mengenyangkan perut ini.

Lantas, lapar yang bagaimana yang dimaksud Al-Ghazali?

Dalam hadis panjang yang diriwayatkan oleh Usamah ibn Zaid dan Abu Hurairah disebutkan tentang lapar yang dimaksud Rasul Saw., “Sesunggunya orang yang paling dekat dengan Allah pada Hari Kiamat adalah orang yang sering merasa lapar dan haus di dunia ini, orang yang penuh kasih sayang dan bertakwa kepada Allah—yang ketika hadir mereka tidak dikenal, dan ketika pergi tidak dicari orang. Akan tetapi, bumi mengenal mereka dan para malaikat menolong mereka. Orang lain menyia-nyiakan amal dan akhlak para Nabi, sedangkan mereka melestarikannya. Mereka tidak tergiur pada dunia laksana anjing tergiur melihat bangkai. Mereka hanya makan seperlunya saja, sekadar dapat menyambung nyawa, memakai pakaian yang sederhana. Di kalangan penduduk dunia, terkadang ia dianggap gila, dan berjalan tanpa akal, tetapi justru merekalah yang berakal ketika akal manusia lainnya hilang.”

Dalam Disciplining the Soul: Breaking the Two Desire, Al-Ghazali berusaha menjelaskan makna hadis tersebut.

Menurutnya, mengetuk pintu syurga bisa dilakukan dengan hal-hal yang disebutkan, seperti menahan lapar, haus, bersikap sederhana, dan berakhlak mulia laiknya Rasul.

Menahan lapar dan haus yang dimaksud adalah saat kita mampu untuk makan dan minum sepuasnya, tapi kita justru memilih untuk tidak berlebihan dan tidak melupakan kewajiban kita kepada makhluk yang lainnya. Orang-orang di sekitar yang membutuhkan bantuan. Lebih khusus, Al-Ghazali menawarkan konsep lapar ini agar kita terhindar dari bahaya kekenyangan yang akan merusak hati, pikiran juga kesehatan.

Tidak berlebihan dalam perihal mengisi perut ini dapat dijadikan cara untuk mengetuk pintu syurga, sebab lapar memiliki sedikitnya sepuluh manfaat, di antaranya:

Pertama, menyucikan hati, menajamkan kecerdasan, dan menerangi jiwa. Rasul Saw. bersabda, “Cahaya kebijaksanaan berasal dari rasa lapar. Sedangkan menjauh dari Allah diakibatkan oleh rasa kenyang, dan kedekatan kepada Allah bersumber dari rasa cinta dan sikap penyantun terhadap orang-orang miskin. Oleh karena itu, janganlah engkau makan hingga kenyang karena dengan begitu engkau telah memadamkan cahaya hikmah yang ada di dalam hatimu.”

Kedua, melunakkan hati untuk mendatangkan rasa bahagia. Abu Sulaiman berkata, “Ketika hati lapar dan haus, ia menjadi jernih dan lunak. Tapi, saat kenyang, ia menjadi buta dan keras.”

Ketiga, tumbuhnya rasa malu, sikap rendah hati, dan memunculkan rasa saling berbagi pada sesama manusia. Sebab nafsu makan yang berlebihan merupakan pintu menuju neraka. Sebaliknya, sikap rendah hati dan menjaga perut merupakan pintu menuju syurga, dan modal dasarnya adalah rasa lapar.

Keempat, tidak lupa pada cobaan dan azab Allah, dan tidak menelantarklan orang-orang yang tertimpa musibah.

Kelima, menaklukkan segala nafsu berbuat maksiat, dan mengalahkan jiwa yang senantiasa memerintah berbuat kejahatan. Aisyah berkata, “Rasa lapar adalah salah satu perbendaharaan dari sekian banyak perbendaharaan Allah.”

Keenam, mencegah rasa ingin tidur yang berlebihan.

Ketujuh, mempermudah ketekunan dan menjalankan ibadah.

Kedelapan, kesehatan tubuh dan mencegah penyakit sebagai akibat tidak berlebihan dalam mengisi perut. Harun al Rasyid berkata, “Obat yang tidak mengandung efek samping adalah tidak makan kecuali lapar dam berhenti makan sebelum kenyang.”

Kesembilan, biaya hidup yang ringan. Orang yang tidak berlebihan dalam makanan akan merasa merdeka dan tidak bergantung pada orang lain untuk memenuhi kebutuhannya itu.

Kesepuluh, tumbuhnya kebiasaan mendahulukan kepentingan orang lain dan bersedekah kepada orang yang membutuhkan. Inilah yang kemudian menjadi tabungan bagi manusia yang bisa diambil kelak di yaumil akhir.

Yang terpenting, inti dari tidak berlebihan dalam mengisi perut yang dimaksud Al-Ghazali ini tiada lain adalah untuk saling berbagi dan merasakan antar sesamanya. Sebab, bukankah Islam ini berada di titik tengah--Yang berarti mengajarkan umatnya untuk tidak terlalu lapar, juga tidak terlalu kenyang?

Tasawwuf, Mengembalikan Cinta yang Hilang


Apa itu tasawwuf?

Kehadiran tasawwuf di tengah kehidupan masyarakat menuai pro dan kontra. Kasus terakhir yang terjadi di Indonesia terkait penolakan tasawwuf ini terjadi di Kecamatan Bulukumpa, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. Pengajian hikmah dituding sebagai salah satu biang keladi atas tasawwuf.

Lantas, apa sebenarnya tasawwuf?

Muhammad bin Ali Kattany mengatakan, “Tasawwuf adalah akhlak yang baik. Maka siapa yang melebihimu dalam akhlak yang baik, berarti ia melebihimu dalam tasawwuf."

Sehingga, ukuran orang yang bertasawwuf atau bukan, bila dilihat dari pendapat ini, maka merujuk pada akhlak. Tidak mengenal berapa usia si pelaku, jika memang memiliki akhlak yang baik dan sesuai nilai-nilai ilahiah, maka dialah sesungguhnya yang disebut sufi.

Bahkan Imam Al Ghazali dalam Disciplining the Soul mengatakan, “Inti dari agama adalah akhlak. Karenanya, jika akhlak manusia sempurna, dia berhak menjadi wakil Tuhan di dunia ini.”

Betapa pentingnya perihal akhlak, hingga Rasul Saw. pun diutus ke muka bumi ini tiada lain untuk mengurus masalah akhlak, “Sesungguhnya, tidaklah aku diutus kecuali untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak.”

Ibn Ajiba menjelaskan, "Jalan tasawwuf awalnya adalah ilmu, tengahnya amal. Dan ujungnya karunia Ilahi (berupa penyingkapan hakikat)."

Akhlak yang baik dan sempurna mustahil tanpa dibarengi dengan ilmu dan amal. Karenanya, Ibn Ajiba menenmpatkan ilmu dalam urutan pertama ketika ingin menggapai hakikat—yang merupakan harapan setiap insan yang bertasawwuf.

Menurut Abul Hasan Syadzili, tasawwuf adalah, “Praktik dan latihan diri melalui cinta dan penghambaan yang mendalam untuk mengembalikan diri ke jalan Tuhan"

Imam Al-Suyuthi menjelaskan,“Orang-orang yang layak disebut sufi adalah mereka yang terus-menerus berupaya memelihara ketulusan kepada Allah dan berakhlak baik kepada makhluk."

Al Hallaj mengatakan, "Batin al-Haqq punya zhahir, yakni syariat. Siapa cari hakikat melalui syariat, akan tersingkap baginya batin syariat, yakni ma‘rifat.”

Imam Nawawi menjelaskan, “Seorang sufi adalah mereka yang memelihara kehadiran Allah di dalam hatinya, menaati Nabi Saw., menghindari ketergantungan kepada orang, dan mensyukuri karunia-Nya meski sedikit.”

Imam Syafii memberi nasihat,“Jadilah pelaku fiqih dan pejalan sufi. Jangan hanya jadi salah satunya."

Bayazid Busthami menambahkan, “Jangan terkelabui oleh pelaku mukjizat yang mampu terbang di udara. Tapi nilailah berdasar ketaatannya pada syariah."

Abu Nashr Sarraj sempat bertanya pada Ali al-Hushry, “Siapakah sufi itu?' Dia menjawab, ‘sufi, dialah yang tak dibawa bumi dan tak dinaungi langit. Maksudnya, sufi alami fana."

Junayd al-Baghdadi menjelaskan, “Sufi seperti bumi, diinjak orang saleh & pendosa; seperti mendung, memayungi segalanya; seperti hujan, mengairi semuanya”

Ahmad an-Nury memberikan gambaran, “Tanda sufi adalah ia yang rela ketika tidak punya, dan peduli pada orang lain ketika punya."

Maka, dalam hal ini menjadi jelaslah bahwa tasawwuf merupakan salah satu jalan atau cara manusia guna menuju Tuhan—baik secara individu maupun kelompok. Namun, yang terpenting dalam tasawwuf, sesugguhnya adalah terkait dengan akhlak—yang kemudian dapat mengembalikan nilai-nilai keilahian—yang penuh toleran—penuh cinta, penuh kasih sayang, saling membantu, dan menjadi gerakan bersama yang bermanfaat bagi sesama makhluk—yang kerap hilang akibat disibukkan oleh berbagai urusan dunia.

Sehingga, belum dikatakan sufi bila hatinya tidak tergerak untuk segera membantu tetangganya sesama penduduk bumi ya

Bagaimana Khilafah Memperlakukan Alquran


Sikap penguasa bayaran yang menuduh Alquran sebagai inspirasi terorisme, dan menjadikan kitab suci Alquran sebagai barang bukti aksi terorisme adalah bentuk penghinaan terhadap Alquran. Boleh jadi, karena membebek kepada kaum kafir yang mengordernya, atau karena kebodohannya terhadap Alquran.

Ini wajar saja, karena para penguasa itu tidak pernah mengenal Alquran dengan baik, meski di antaranya adalah Muslim. Sampai ada seorang pejabat yang berkomentar, ketika mendengar penjelasan bahwa ada seorang bocah yang hafal Alquran 30 juz, dengan lugunya pejabat itu bertanya, “Luar biasa, masih berapa juz lagi yang berlum dihafal?” Jumlah juz Alquran saja tidak tahu, lalu bagaimana pejabat seperti ini bisa memuliakan Alquran?

Alquran Kitab Suci

Alquran adalah kalam Allah, mukjizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui Malaikat Jibril as yang dinukil secara mutawatir di antara dua ujung mushaf (al-Fatihah hingga an-Nas). Alquran adalah wahyu Allah, yang makna dan redaksinya berasal dari Allah SWT. Karena itu, hukum membacanya bernilai ibadah. Begitulah Alquran didefinisikan oleh para ulama.

Maka, Alquran dimuliakan, karena kalam Allah yang diturunkan kepada manusia. Generasi salaf di kalangan sahabat Nabi, bahkan melihat Alquran ini sebagai surat cinta dari Sang Kekasih, Allah SWT yang diterima, dibaca, disimak dan dilaksanakan dengan penuh cinta dan kerinduan. Sayyidina al-Hasan bin ‘Ali ra. berkata, “Sesungguhnya generasi sebelum kalian memandang Alquran sebagai surat dari Tuhan mereka. Mereka menelaahnya di malam hari, dan menyimpannya di siang hari.” (an-Nawawi, at-Tibyan fi Adab Hamalati Alquran, hal 28).

Sampai para Malaikat pun iri dan ingin mendengar bacaan yang dibaca oleh manusia, karena kemuliaan ini tidak diberikan kepada mereka. Ibn Shalah menyatakan, “Membaca Alquran merupakan kemuliaan yang diberikan oleh Allah kepada manusia. Telah diriwayatkan, bahwa malaikat tidak mendapatkannya, sehingga mereka berkeinginan kuat untuk mendengarkannya dari manusia.” (as-Suyuthi, al-Itqan, Juz I/291)

Karena ini merupakan kitab suci, kalam Allah dan membacanya bernilai ibadah, maka orang yang membacanya juga diwajibkan dalam keadaan suci. Sebagaimana firman Allah, “Tidaklah ia disentuh, kecuali oleh orang-orang yang suci.” (TQS al-Waqi’ah [56]: 79). Karena itu, tidak boleh menghina Alquran dan melecehkannya, baik langsung maupun tidak. Al-Imam al-Hafidh Qadhi Iyadh menyatakan, “Ketahuilah, siapa saja yang merendahkan Alquran, mushaf, atau sesuatu dari Alquran, mencacinya, menolaknya, mendustakan hukum dan berita yang dinyatakannya, menetapkan apa yang dinafikannya, menafikan apa yang ditetapkannya, padahal dia mengetahuinya, atau dia meragukan bagian dari Alquran tadi, maka dia dinyatakan kafir berdasarkan Ijmak kaum Muslim.” (an-Nawawi, at-Tibyan fi Adab Hamalati Alquran, hal 131).

Di Baghdad, Irak, seorang ulama ahli bacaan Alquran yang bernama Ibn Syanbudz, difatwakan oleh para fuqaha di sana agar bertaubat kepada Allah, karena telah membaca Alquran, dengan bacaan syadz (yang tidak dikenal). Mereka sampai menulis sertifikat berisi pernyataan syahadat, yang dinyatakan di hadapan Wazir Abu Ali ibn Muqillah, tahun 323 H, di masa Khalifah al-Muqtadir Billah, di era Khilafah Abbasiyyah. Bahkan, Muhammad bin Abu Bakar mengeluarkan fatwa untuk orang yang melaknat (mencela) mushaf dengan hukuman mati. (an-Nawawi, at-Tibyan fi Adab Hamalati Alquran, hal 132).

Alquran Sumber Hukum

Alquran diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad bukan hanya menjadi bacaan, tetapi untuk diamalkan, baik dalam konteks pribadi, masyarakat maupun negara. Karena Alquran tidak hanya berisi ayat-ayat yang ditujukan kepada individu, tetapi juga diperuntukkan bagi masyarakat dan negara. Tujuannya, agar kehidupan mereka diatur dengan hukum-hukum Alquran. Dengan menerapkan hukum-hukum Allah yang bersumber dari Alquran ini, kehidupan mereka akan dijamin penuh berkah, baik dari langit maupun bumi (QS al-Anfal: 96).

Sebaliknya, jika hukum-hukum Alquran ini tidak diterapkan, maka Allah pun mengancam mereka dengan ancaman fitnah di dunia, atau adzab yang pedih di akhirat (QS al-Furqan: 63). Terjadinya kerusakan di daratan dan lautan juga karena manusia tidak menerapkan hukum-hukum Alquran ini, di mana kerusakan itu sengaja ditunjukkan oleh Allah kepada mereka, agar mereka bisa merasakan akibat dari perbuatannya. Tujuannya, agar mereka sadar, dan kembali ke jalan yang benar (Islam) (QS ar-Rum []: 41).

Begitulah Alquran diposisikan dalam kehidupan kaum Muslim. Alquran bukan hanya bacaan, tetapi kitab suci yang diturunkan untuk dijadikan sebagai sumber hukum dan perundang-undangan. Dengannya, manusia mendapatkan jaminan hidup yang aman, damai dan sejahtera di dunia dan akhirat. Itulah fakta yang ditunjukkan oleh Nabi dan para sahabat, ketika mereka memerintah dunia dengan Alquran.

Fakta yang sama ditunjukkan oleh Khilafah setelah mereka, baik Khilafah Umayyah, Abbasiyyah hingga Utsmaniyyah. Namun, ketika Alquran mulai ditinggalkan, dan tidak lagi dijadikan sebagai sumber hukum dan perundang-undangan, maka kehinaan demi kehinaan terus mendera kehidupan umat Islam. Mereka tidak hanya dihinakan di dunia, tetapi juga di akhirat.

Ketika Alquran diemban oleh para sahabat, tabiin, atba’ tabiin di tangan kanan mereka, dan bahasa Arab di tangan kiri mereka, maka dalam waktu yang singkat, bangsa-bangsa non-Arab itu berhasil mereka lebur dalam satu ikatan akidah, dan menjadi satu umat, umat Islam. Lihatlah, bangsa Spanyol yang berhasa Spanyol itu bisa melahirkan ulama-ulama mujtahid sekaliber al-Qurthubi, al-Hafidh as-Syathibi, al-Hafidh Ibn Abd al-Barr, al-Hafidh Ibn Hazm, dan lain-lain. Bangsa Asia Tengah melahirkan ulama sekaliber al-Bukhari, az-Zamakhsyari, dan lain-lain.

Mereka bukan orang Arab, tetapi telah menjelma menjadi ulama-ulama hebat, karena Khilafah telah mengejawentahkan Alquran dan bahasa Arab dalam kehidupan mereka. Hasilnya, dalam waktu yang singkat, mereka menjadi generasi emas yang luar biasa.

Begitulah Khilafah telah memperlakukan Alquran. Maka, hanya Negara Khilafah yang bisa mengembalikan kemuliaan Alquran, mengembalikan kedudukannya bukan hanya sebagai kitab suci, tetapi juga sumber hukum dan perundangan-undangan. Tidak hanya itu, Khilafah juga akan melindungi dari penghinaan atau penistaan yang dilakukan terhadap Alquran, meski hanya terhadap satu huruf Alquran, apalagi jika ada yang menghina Alquran sebagai kitab teroris, atau barang bukti praktik terorisme.

Sains Islam dan Nilai Pancasila Kita


SEBAGAIAN orang masih berpendapat, sains bersifat netral. Padahal pemisahan ilmu, yang dalam konteks seperti ini, disebut Prof Syed Mohammad Naquib al-Attas sebagai sekularisasi.

Di zaman kejayaan Islam, ulama dan saintis sesungguhnya bersatu. Namun sekarang ulama seolah-olah tidak mengerti sains dan saintis tidak mengerti Islam. Ini disebabkan oleh konsep pendidikan Indonesia yang masih memisahkan agama dan sains.

Peran sains menjadi hanya semata-mata untuk keperluan praktis, misal untuk membuat robot, obat, makanan, pupuk, kendaraan, alat elektronik dan lain sebagainya.

Padahal dahulu yang dicontohkan oleh ulama kita, mereka belajar sains untuk juga makin dekat kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Sehingga jika sains berkembang, keimanan dapat makin mendalam.

Sebenarnya tujuan penciptaan manusia di dalam Al-Quran ada dua,yaitu menjadi hamba Allah dan khalifah/pemimpin di muka bumi. Sayangnya, hanya tujuan sebagai khalifah di muka bumi, sains lebih dimanfaatkan. Seperti untuk memakmurkan bumi dan mengelola alam.Tapi sebagai hamba Allah nya dikesampingkan.

Bila sains disekularkan, maka bertentangan dengan nilai-nilai Islam.

Menurut Osman Bakar, Islam bukanlah agama yang mengatur ibadah saja, melainkan jalan hidup yang lengkap dan sempurna, bahkan sebuah peradaban yang integral dan menyeluruh serta melingkupi segala aspek kehidupan manusia. (Osman Bakar, Tauhid dan Sains: Perspektif Islam tentang Agama dan Sains, Pustaka Hidayah, 2008). Oleh karena itu, tidak ada satu hal pun dalam kehidupan manusia yang tidak diatur oleh Islam, termasuk sains. Bahkan sebagian ulama menyamakan pentingnya memahami dan merenungkan alam dengan Al-Qur’an.

Dapat dilihat dari penggunaan istilah yang sama untuk menyebut kandungan Al-Qur’an sebagai ayat qauliyyah, sementara alam sebagai ayat kauliyyah. Keduanya sama-sama ayat Allah. Jadi tidak dapat dipisahkan antara alam dan Al-Qur’an.

Wendi Zarman menegaskan bahwa tujuan belajar sains yang paling utama adalah semakin mengenal Allah. Masalahnya orang membatasi belajar sains dengan hanya melihat fenomena alam saja. Seperti yang diumpamakan Imam Ghazali, seekor semut yang melihat pena menulis di atas kertas. Semut hanya memandang tulisan itu ada karena pena. Padahal jika semut memandang lebih jauh ke atas, ada manusia yang menggerakkan pena itu. Sains berhenti pada pena saja, tidak melihat ada Allah yang mengatur alam ini. [Dr. Wendi Zarman, Mengislamkan Sains: Apanya yang Diislamkan, hidayatullah.com, Jum'at, 7 Desember 2012]

Ada hal yang menarik, ulama dahulu sering mengatakan hikmah dari fenomena alam. Ketika hujan kita sebenarnya dapat mengambil hikmah. Tetesan air hujan yang bentuknya unik seperti balon, kecepatannya seperti terhambat. Bayangkan jika batu dijatuhkan dari ketinggian sekian kilometer, akibatnya dapat membunuh orang. Namun Mahasuci Allah, Allah menciptakan bentuk tetesan air hujan yang unik sehingga tidak membahayakan orang. Kita juga dapat mengambil hikmah dari sifat konduktor logam.

Bayangkan seandainya udara memiliki sifat konduktor, lingkungan kita akan berbahaya. Artinya alam ini memang diatur. Sudah sepantasnya menimbulkan pengakuan kita atas kebesaran Allah.

Bila dihubungkan dengan pendidikan, masalah sains yang paling mengkhawatirkan adalah sekularisasi, yaitu ketika agama dicabut dari sains. Ini kesalahan yang besar karena dapat menjadikan seseorang yang “setengah-setengah” dan berwajah dua.
Satu sisi, seseorang jadi yakin ketika belajar sains tentang hukum kekekalan energi ketika belajar sains yang mengatakan energi tidak dapat diciptakan dan tidak dapat dimusnahkan, tetapi hanya dapat berubah dari bentuk energi satu ke bentuk energi lain. Padahal hukum itu memiliki dua pengertian yang bertentangan dengan Islam.

Pertama, energi bukan zat ciptaan, artinya energi itu ada sendirinya dan menyangkal adanya Allah, Maha Pencipta.

Kedua, energi tidak dapat dimusnahkan, artinya energi akan selalu kekal. Sisi lain ia yakin juga ketika belajar agama tentang langit dan bumi beserta seluruh isinya yang merupakan ciptaan Allah. Selain itu, seluruh alam bersifat fana dan akan musnah sesuai kehendak penciptanya. Ini berarti energi adalah salah satu ciptaan Allah yang suatu saat akan musnah juga.

Indonesia sebagai negara yang didirikan atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa sepatutnya menjadikan nilai-nilai agama sebagai dasar dalam seluruh bidang kehidupan rakyat Indonesia, termasuk bidang pendidikan sains.

Sila pertama pancasila yang bunyinya Ketuhanan Yang Maha Esa semakin menguatkan hal ini karena mencerminkan konsep manusia ideal menurut bangsa Indonesia yaitu manusia yang berketuhanan yang maha esa atau dapat disebut juga manusia yang beriman.

Kemudian salah satu tujuan pendidikan nasional dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 adalah untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Sofyan Sauri menyebutkan bahwa tujuan ini menunjukkan bahwa nilai inti pembangunan karakter bangsa berorientasi mengembangkan manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ini menunjukkan bahwa nilai keimanan menjadi tujuan utama pendidikan di Indonesia sehingga pendikan sains harus dilandasi oleh tujuan ini.

Program pemerintah seperti kurikulum 2013 yang mengedepankan pendidikan karakter memberikan alasan yang lebih kuat perlunya pendidikan sains berbasis nilai keimanan.

Dalam kurikulum 2013, kompetensi inti dan kompetensi dasar IPA SMP/MTS yang pertama kali disebutkan mengenai penanaman dan penerapan nilai keimanan.

Menurut Sayid Sabiq, keimanan bukan sekadar ucapan dalam hati atau keyakinan yang memenuhi hati, tapi terwujud dalam tingkah lakunya.

Demikian juga Buya Hamka mengatakan bahwa tidaklah disebut beriman jika tidak diikuti amal shalih, begitu juga tidak disebut beramal shalih jika tidak timbul dari iman. Artinya akhlak mulia hanya dapat diwujudkan oleh seseorang yang memiliki keimanan.*

Penulis adalah mahasiswa FMIPA Univeritas Negeri Jakarta (UNJ)

Siapa Toleran dan Siapa Intoleran?


SERING di antara kita mengucapkan Islam adalah agama cinta damai. Kata-kata ini juga banyak dikutip penganut paham liberal dengan mengatakan “Islam itu agama yang damai, agama cinta, agama yang toleran atau rahmatanlil ‘alamin.”

Kita semua setuju bahwa Islam merupakan agama cinta, agama damai, dan toleran. Salah satu buktinya adalah sikap Sultan Muhammad Al-Fatih saat menaklukkan Konstantinopel 1453 M.

Konstantinopel dulunya berada di bawah kekuasaan Byzantium yang beragama Kristen Ortodoks. Pasca ditaklukkan Sultan Muhammad Al-Fatih, tepatnya pada abad 10, Konstantinopel diganti menjadi Istambul (Ibu Kota Turki sekarang). Dulunya, Kontantinopel Kekaisaran Romawi Timur

Konstantinopel dikenal dalam sejarah memiliki benteng legendaris tak pernah tertembus musuh ini. Namun tahun 1453 M, kota ini akhirnya runtuh di tangan Sultan Muhammad al-Fatih, sultan ke-7 Turki Utsmani.

Di saat Kontantinopel jatuh dan seluruh masyarakatnya (penganut Nasrani) dikumpulkan oleh Al-Fatih. Di antara mereka terdiri dari para wanita, anak-anak, orangtua dan orang yang tidak ikut berperang.

Ada satu hal yang perlu menjadi perhatian masyarakat dunia dalam peristiwa ini. Di saat Sultan Muhammad Al-Fatih turun dari kudanya dan memasuki Hagia Sophia, ia menemui umat Kristen yang tidak ikut berperang dan sedang bersembunyi di dalam gereja. Kala itu, ia mendekati wanita dan anak-anak yang sedang ketakutan.

“Jangan takut, kita adalah satu bangsa, satu tanah dan satu nasib.Kalian bebas menjaga agama kalian,” ujarnya dengan ramah dan disambut gembira umat Kristiani. Kisah menarik ini digambarkan dalam film “Fetih 1453” karya sutradara Turki, Faruk Aksoy.

Pada hari ditaklukkankan Konstantinonel Sultan Al-Fatih (yang berjuluk Sultan Mehmed II) hari Selasa 27 Mei 1453 memasuki kota itu, dan turun dari kudanya kemudian bersujud syukur kepada Allah. Beliau pergi ke Gereja Hagia Sophia (Aya Sofia, Turki) dan memerintahkan mengubahnya menjadi masjid. Hari gereja itu lantas diubah menjadi masjid dan digunakan shalat Jumat.
Selama hampir 500 tahun Hagia Sophia berfungsi sebagai masjid. Patung, salib, dan lukisannya sudah dicopot atau ditutupi cat.

Pada tahun 1937, Mustafa Kemal Atatürk mengubah status Hagia Sophia menjadi museum. Bangunannya dibongkar dan direnovasi.

Sejak saat itu, Gereja Hagia Sophia dijadikan salah satu objek wisata terkenal oleh pemerintah Turki di Istambul.

Sampai hari ini, di dalam Hagia Sophia masih terdapat surat-surat dari khalifah Utsmaniyah yang berfungsi untuk menjamin, melindungi, dan memakmurkan warganya ataupun orang asing pembawa suaka. Setidaknya terdapat sekitar 10.000 sampel surat yang ditujukan maupun yang dikeluarkan kepada kholifah. Melalui Sultan Muhammad Al-Fatih, umat Nasrani merasa aman. Kebebasaan keyakinan mereka terjaga.

Hal ini sebagaimana ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassallam menaklukkan Kota Makkah yang dikenal dengan “Fathu Makkah”.

Saat pasukan Rasulullah sampai di Makkah, diumumkanlah, siapa yang masuk ke rumahnya dan mengunci pintu, maka dia aman. Siapa yang masuk masjid (Ka’bah), maka dia aman. Dan siapa saja yang masuk rumah Abu Sofyan, maka dia aman.

Akhirnya, pasukan Islam di bawah pimpinan Rasulullah Muhammad memasuki kota Makkah tanpa mendapat perlawanan yang berarti dari para penduduknya.

Nabi dan semua pasukan menghancurkan patung-patung yang berjumlah tidak kurang dari 360 buah, baik di dalam atau di luar Ka’bah, lalu semua umat Islam melakukan thawaf.

Dalam “Fathu Makkah” (Pembukaan Kota Makkah) yang terjadi pada 20 Ramadhan 8 H ini, Rasulullah Muhammad datang bersama 10.000 pasukan bergerak dari Madinah.

Tanpa beradu pedang dan tanpa meneteskan darah, Rasulullah membebaskan keyakinan yang dianut masyarakat Makkah yang telah mengusir, menyakiti dan menyiksa Beliau serta para sahabatnya.

Siapa Intoleran?

Sejarah tersebut sudah cukup menjadi bukti bahwa Islam adalah agama cinta, agama damai, dan agama toleran. Namun sikap toleran Rasulullah dan Al-Fatih tidak merubah keyakinan beliau berdua dari urusan akidah dan tauhid.

Lagi pula, pada dasarnya perang dalam Islam, hanya dilakukan jika dalam umat Islam dalam keadaan terdesak atau mempertahankan diri dari serangan atau juga ketika dianiaya/dizolimi. Islam tidak pernah menggunakan kegiatan perang untuk menyerang umat, tanpa ada alasan apapun.

Inilah maksud sebenarnya kata “toleransi” dalam Islam; bersikap terbuka dan saling menghargai tanpa merubah Iman.

Hanya saja untuk saat ini, istilah “toleran” dan “tidak toleran” lebih bermakna untuk kepentingan tertentu. Sebab sering kali kata itu hanya diarahkan untuk menilai umat Islam saja, sementara umat lain tidak.

Yang patut menjadi bahan renungan bagi kita, mengapa selalu Islam yang dipaksa menjadi subjek toleransi dalam beragama? Mengapa tidak agama lain yang justru sering tidak memahami arti toleransi?

Mengapa banyak umat agama lain membisu ketika jilbab dilarang di beberapa Negara Eropa? Mengapa banyak yang diam ketika ada pembantaian dan penjajahan Palestina? Pengusiran ummat Islam di Rohingya dan di Afrika Tengah? Serta masih banyak perlakuan intoleran umat lain kepada umat Islam?

Ketika masyarakat Islam marah karena Barat “menghina” Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassalam dengan gambar dan kartun-kartun, mereka menolak disebut intoleran. Katanya itu adalah kebebasan berpendapat (freedom of speech).

Sementara jika ada orang mencela dan mengecam kejahatan Zionisme-Yahudi, Negara Barat dan Eropa bisa menjeratnya dan menjebloskannya ke penjara karena telah melanggar Undang-undang anti diskriminasi atau Anti Semit (Anti Yahudi).

Ketika larangan cadar, niqob dilaksanakan di hampir semua Negara Eropa, mereka beralasan, cadar telah melanggar ketentuan sekularisme. Tetapi di saat Islam tegas melarang khamr, penyakit-penyakit sosial seperti lesbian, homoseksual dan sejenisnya, mereka menyebut Islam intoleran karena melarang Hak Asasi Manusia (HAM) dan melarang hak orang berekspresi (freedom of expression).

Ketika Islam melawan dan mempertahankan hak-haknya yang dizalimi di Palestina, Afghanistan dan Iraq, Barat secara serentak menyebut para pejuang sebagai “teroris” dan memberi izin Zionis-Israel melakukan pelanggaran kemanusiaan dan HAM.

Fakta menunjukkan, ketika umat Islam minoritas di situ tidak ada toleransi. Sementara ketika umat Islam mayoritas, yang minoritas sering ngelunjak minta lebih.

Jadi sesungguhnya siapa yang toleran dan siapa yang intoleran?

Penulis alumni PP Al Amin, Prenduan Madura, sekarang berdomisi di Mesir