Info
|
Profil G+ Profil Facebook Profil twitter
Berita



Sejarah

Artikel

Tampilkan postingan dengan label Tasawuf. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tasawuf. Tampilkan semua postingan

Mengetuk Pintu Syurga


Bagaimana cara mengetuk pintu syurga?

Al-Hasan meriwayatkan bahwa, “Suatu ketika Rasul Saw. pernah memberi nasihat kepada isteri tercintanya, Aisyah ra., ‘Biasakanlah mengetuk pintu syurga. Niscaya ia akan dibukakan untukmu.’ Aisyah pun tampak kebingungan dan bertanya, ‘Bagaimana kami bisa mengetuk pintu syurga?’ Beliau menjawab, ‘dengan rasa lapar dan haus.’”

Ibn Abbas berkata, “Rasul bersabda, ‘Orang yang kenyang perutnya lalu tertidur, hatinya akan mengeras.’ Kemudian beliau bersabda, ‘Bagi segala sesuatu itu ada zakatnya, dan zakat bagi tubuh adalah rasa lapar.’”

Dalam hadis mursal dikatakan, “Sesungguhnya setan berjalan mengikuti aliran darah anak cucu Adam; karena itu, persempitlah jalan setan itu dengan cara menahan lapar dan haus.”
Nabi Saw. bersabda, “Orang beriman makan dengan satu usus, sedangkan orang munafik makan dengan tujuh usus.”
“Perangilah nafsumu dengan rasa lapar dan haus karena sesungguhnya pahala dalam hal itu seperti pahala berperang di jalan Allah. Tidak ada amal yang lebih dicintai Allah kecuali rasa lapar dan haus.”

Ibnu Abbas pernah bertanya kepada Rasul, “Siapakah manusia yang paling mulia?” Dan beliau menjawab, ‘Orang yang sedikit makan dan sedikit tertawa, serta ridha dengan pakaian sederhana yang menutupi auratnya.”

Al-Hasan berkata, “Nabi Saw. pernah bersabda, ‘Berpikir adalah sebagian dari ibadah, sedangkan makan secukupnya adalah ibadah penuh.’”

Umar ra. Pernah berkata, “Hati-hatilah terhadap rasa kenyang. Sesungguhnya ia merupakan beban dalam kehidupan dan sumber malapetaka setelah kematian.”

Dan, masih banyak hadis dan riwayat sahabat lainnya yang membahas tentang keutamaan menahan hawa nafsu terkait mengenyangkan perut ini.

Lantas, lapar yang bagaimana yang dimaksud Al-Ghazali?

Dalam hadis panjang yang diriwayatkan oleh Usamah ibn Zaid dan Abu Hurairah disebutkan tentang lapar yang dimaksud Rasul Saw., “Sesunggunya orang yang paling dekat dengan Allah pada Hari Kiamat adalah orang yang sering merasa lapar dan haus di dunia ini, orang yang penuh kasih sayang dan bertakwa kepada Allah—yang ketika hadir mereka tidak dikenal, dan ketika pergi tidak dicari orang. Akan tetapi, bumi mengenal mereka dan para malaikat menolong mereka. Orang lain menyia-nyiakan amal dan akhlak para Nabi, sedangkan mereka melestarikannya. Mereka tidak tergiur pada dunia laksana anjing tergiur melihat bangkai. Mereka hanya makan seperlunya saja, sekadar dapat menyambung nyawa, memakai pakaian yang sederhana. Di kalangan penduduk dunia, terkadang ia dianggap gila, dan berjalan tanpa akal, tetapi justru merekalah yang berakal ketika akal manusia lainnya hilang.”

Dalam Disciplining the Soul: Breaking the Two Desire, Al-Ghazali berusaha menjelaskan makna hadis tersebut.

Menurutnya, mengetuk pintu syurga bisa dilakukan dengan hal-hal yang disebutkan, seperti menahan lapar, haus, bersikap sederhana, dan berakhlak mulia laiknya Rasul.

Menahan lapar dan haus yang dimaksud adalah saat kita mampu untuk makan dan minum sepuasnya, tapi kita justru memilih untuk tidak berlebihan dan tidak melupakan kewajiban kita kepada makhluk yang lainnya. Orang-orang di sekitar yang membutuhkan bantuan. Lebih khusus, Al-Ghazali menawarkan konsep lapar ini agar kita terhindar dari bahaya kekenyangan yang akan merusak hati, pikiran juga kesehatan.

Tidak berlebihan dalam perihal mengisi perut ini dapat dijadikan cara untuk mengetuk pintu syurga, sebab lapar memiliki sedikitnya sepuluh manfaat, di antaranya:

Pertama, menyucikan hati, menajamkan kecerdasan, dan menerangi jiwa. Rasul Saw. bersabda, “Cahaya kebijaksanaan berasal dari rasa lapar. Sedangkan menjauh dari Allah diakibatkan oleh rasa kenyang, dan kedekatan kepada Allah bersumber dari rasa cinta dan sikap penyantun terhadap orang-orang miskin. Oleh karena itu, janganlah engkau makan hingga kenyang karena dengan begitu engkau telah memadamkan cahaya hikmah yang ada di dalam hatimu.”

Kedua, melunakkan hati untuk mendatangkan rasa bahagia. Abu Sulaiman berkata, “Ketika hati lapar dan haus, ia menjadi jernih dan lunak. Tapi, saat kenyang, ia menjadi buta dan keras.”

Ketiga, tumbuhnya rasa malu, sikap rendah hati, dan memunculkan rasa saling berbagi pada sesama manusia. Sebab nafsu makan yang berlebihan merupakan pintu menuju neraka. Sebaliknya, sikap rendah hati dan menjaga perut merupakan pintu menuju syurga, dan modal dasarnya adalah rasa lapar.

Keempat, tidak lupa pada cobaan dan azab Allah, dan tidak menelantarklan orang-orang yang tertimpa musibah.

Kelima, menaklukkan segala nafsu berbuat maksiat, dan mengalahkan jiwa yang senantiasa memerintah berbuat kejahatan. Aisyah berkata, “Rasa lapar adalah salah satu perbendaharaan dari sekian banyak perbendaharaan Allah.”

Keenam, mencegah rasa ingin tidur yang berlebihan.

Ketujuh, mempermudah ketekunan dan menjalankan ibadah.

Kedelapan, kesehatan tubuh dan mencegah penyakit sebagai akibat tidak berlebihan dalam mengisi perut. Harun al Rasyid berkata, “Obat yang tidak mengandung efek samping adalah tidak makan kecuali lapar dam berhenti makan sebelum kenyang.”

Kesembilan, biaya hidup yang ringan. Orang yang tidak berlebihan dalam makanan akan merasa merdeka dan tidak bergantung pada orang lain untuk memenuhi kebutuhannya itu.

Kesepuluh, tumbuhnya kebiasaan mendahulukan kepentingan orang lain dan bersedekah kepada orang yang membutuhkan. Inilah yang kemudian menjadi tabungan bagi manusia yang bisa diambil kelak di yaumil akhir.

Yang terpenting, inti dari tidak berlebihan dalam mengisi perut yang dimaksud Al-Ghazali ini tiada lain adalah untuk saling berbagi dan merasakan antar sesamanya. Sebab, bukankah Islam ini berada di titik tengah--Yang berarti mengajarkan umatnya untuk tidak terlalu lapar, juga tidak terlalu kenyang?

Tasawwuf, Mengembalikan Cinta yang Hilang


Apa itu tasawwuf?

Kehadiran tasawwuf di tengah kehidupan masyarakat menuai pro dan kontra. Kasus terakhir yang terjadi di Indonesia terkait penolakan tasawwuf ini terjadi di Kecamatan Bulukumpa, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. Pengajian hikmah dituding sebagai salah satu biang keladi atas tasawwuf.

Lantas, apa sebenarnya tasawwuf?

Muhammad bin Ali Kattany mengatakan, “Tasawwuf adalah akhlak yang baik. Maka siapa yang melebihimu dalam akhlak yang baik, berarti ia melebihimu dalam tasawwuf."

Sehingga, ukuran orang yang bertasawwuf atau bukan, bila dilihat dari pendapat ini, maka merujuk pada akhlak. Tidak mengenal berapa usia si pelaku, jika memang memiliki akhlak yang baik dan sesuai nilai-nilai ilahiah, maka dialah sesungguhnya yang disebut sufi.

Bahkan Imam Al Ghazali dalam Disciplining the Soul mengatakan, “Inti dari agama adalah akhlak. Karenanya, jika akhlak manusia sempurna, dia berhak menjadi wakil Tuhan di dunia ini.”

Betapa pentingnya perihal akhlak, hingga Rasul Saw. pun diutus ke muka bumi ini tiada lain untuk mengurus masalah akhlak, “Sesungguhnya, tidaklah aku diutus kecuali untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak.”

Ibn Ajiba menjelaskan, "Jalan tasawwuf awalnya adalah ilmu, tengahnya amal. Dan ujungnya karunia Ilahi (berupa penyingkapan hakikat)."

Akhlak yang baik dan sempurna mustahil tanpa dibarengi dengan ilmu dan amal. Karenanya, Ibn Ajiba menenmpatkan ilmu dalam urutan pertama ketika ingin menggapai hakikat—yang merupakan harapan setiap insan yang bertasawwuf.

Menurut Abul Hasan Syadzili, tasawwuf adalah, “Praktik dan latihan diri melalui cinta dan penghambaan yang mendalam untuk mengembalikan diri ke jalan Tuhan"

Imam Al-Suyuthi menjelaskan,“Orang-orang yang layak disebut sufi adalah mereka yang terus-menerus berupaya memelihara ketulusan kepada Allah dan berakhlak baik kepada makhluk."

Al Hallaj mengatakan, "Batin al-Haqq punya zhahir, yakni syariat. Siapa cari hakikat melalui syariat, akan tersingkap baginya batin syariat, yakni ma‘rifat.”

Imam Nawawi menjelaskan, “Seorang sufi adalah mereka yang memelihara kehadiran Allah di dalam hatinya, menaati Nabi Saw., menghindari ketergantungan kepada orang, dan mensyukuri karunia-Nya meski sedikit.”

Imam Syafii memberi nasihat,“Jadilah pelaku fiqih dan pejalan sufi. Jangan hanya jadi salah satunya."

Bayazid Busthami menambahkan, “Jangan terkelabui oleh pelaku mukjizat yang mampu terbang di udara. Tapi nilailah berdasar ketaatannya pada syariah."

Abu Nashr Sarraj sempat bertanya pada Ali al-Hushry, “Siapakah sufi itu?' Dia menjawab, ‘sufi, dialah yang tak dibawa bumi dan tak dinaungi langit. Maksudnya, sufi alami fana."

Junayd al-Baghdadi menjelaskan, “Sufi seperti bumi, diinjak orang saleh & pendosa; seperti mendung, memayungi segalanya; seperti hujan, mengairi semuanya”

Ahmad an-Nury memberikan gambaran, “Tanda sufi adalah ia yang rela ketika tidak punya, dan peduli pada orang lain ketika punya."

Maka, dalam hal ini menjadi jelaslah bahwa tasawwuf merupakan salah satu jalan atau cara manusia guna menuju Tuhan—baik secara individu maupun kelompok. Namun, yang terpenting dalam tasawwuf, sesugguhnya adalah terkait dengan akhlak—yang kemudian dapat mengembalikan nilai-nilai keilahian—yang penuh toleran—penuh cinta, penuh kasih sayang, saling membantu, dan menjadi gerakan bersama yang bermanfaat bagi sesama makhluk—yang kerap hilang akibat disibukkan oleh berbagai urusan dunia.

Sehingga, belum dikatakan sufi bila hatinya tidak tergerak untuk segera membantu tetangganya sesama penduduk bumi ya

Memetik Buah Tasawuf

Memetik Buah Tasawuf [Indonesiaku Islam] - Tasawuf, seperti juga filsafat, biasanya dikelompokkan menjadi dua, yaitu nazharî (teoretis spekulatif) dan ‘amalî (praktis). Meski tingkat-tingkat (maqâmât) dan keada­an-keada­an (ahwâl ) bagi pelaku (sâlik) yang telah men­capainya merupakan sebuah penga­laman (dzauqî ) dan karena itu bersifat ‘amalî, pembicaraan atau diskusi me­nge­nainya bersifat nazharî. Namun, pen­capaian maqâmât dan ahwâl seperti itu sesuai sifatnya yang sepenuhnya bersifat dzauqî (intuitif) itu tak bisa ter­ungkapkan secara memadai lewat teori atau spekulasi seperti apa pun. Dengan kata lain, meski saya secara pribadi percaya kepada manifestasi-manifestasi peng­a­laman religius sedemikian, sesungguhnya kesemua­nya itu ada­lah per­soalan yang bersifat pribadi.
Memetik Buah Tasawuf, Indonesia Islam, Islami, Sejarah islam, islam agamaku, tentang islam, hukum islam, solawatan, download solawatan
Memetik Buah Tasawuf
Memang tak harus kita bersikap ekstrem dengan menga­takan, tidak perlulah kita berurusan dengan aspek teoretis pengalaman-pengalaman seperti itu. Berurus­an dengan soal-soal seperti ini jelas tetap diper­lukan. Setidak-tidaknya, dengan mengetahui soal-soal seperti ini boleh jadi orang dapat memahami nyaris tak ter­batasnya potensi kemanusiaan kita dalam meng­upaya­­kan qurb (kedekatan) dan uns (kemesraan) dengan Allah Swt. Seberapa rendah pun tingkat ke­ber­hasil­annya. Juga mudah-mudahan dengan itu kita bisa mem­­ba­yang­­kan betapa besar kenikmatan orang yang bisa me­ng­a­lami­nya jika dibandingkan dengan kenikmatan-kenik­­­matan duniawi. Agar, pada gilirannya kita termo­tivasi untuk berjalan ke arah itu. Belum lagi manfaatnya da­lam pengembangan epistemologi alternatif yang meng­akomodasikan peran intuisi (dzauq) sebagaimana dipro­mosikan oleh tasawuf teoretis ini (lihat diskusi menge­nai pengetahuan presensial dalam bab “Mencari Tasawuf Rasional”).

Yang pasti, segala pembicaraan tentang ke­ajaib­an-keajaiban yang konon sering menyertai peng­alaman ta­sawuf, sama sekali kurang penting. Malah, bagi para sufi sejati, pemilikan kemampuan supranatural (k­râmah) seperti ini justru mereka anggap sebagai ujian. Yakni apakah dengan itu mereka akan tetap ren­dah hati atau justru sombong dan melupakan hakikat kesufian. Saya khawatir orang akan cenderung mene­­­kan­kan pada soal-soal yang tak bisa diverifikasikan ini dan malah kurang mementingkan buahnya tasawuf, yaitu pemilik­an akhlak yang mulia, orientasi amal saleh, dan ke­bersihan hati untuk meraih ilmu sejati (ma‘rifah).

Apakah se­seorang memiliki dan mengalami kejadian-kejadian yang ajaib dalam bentuk kemampuan supra­natural atau menga­lami kesirnaan (fanâ’) adalah per­soal­an seseorang de­ngan Tuhannya. Pada puncaknya, yang lebih relevan ada­lah buah tasawuf itu. Lagi pula, sekadar pengalaman sema­cam fanâ’ yang diklaim se­bagai dialami oleh para sufi atau orang-orang yang me­­­ngaku menjalani hidup tasa­wuf, kenyataannya juga dialami oleh banyak non-Muslim bahkan ateis. Cukup kita baca, sebagai seka­dar contoh, The Tao of Physics-nya Fritjof Capra (se­orang fisikawan yang mengklaim pernah mengalami keadaan mirip fanâ’ ini) ataupun Nauseea karya J.P. Sartre yang ateis dan Marxis itu.

Dua Contoh

Untuk menjelaskan apa yang saya maksudkan dengan penekanan terhadap buah dari kehidupan tasawuf, alih-alih berbicara tentang keramat itu, saya akan mem­berikan dua contoh di bawah ini.

Yang pertama tentang Imam Khomeini. Sejak be­lum berumur 30 tahun, dia sudah menulis syarah-syarah atas buku Syaikh Al-Akbar Ibn ‘Arabi dan Dawud Qaisari, sehingga membuat kagum guru-gurunya. Secara ‘amalî, dia adalah seorang ‘âbid yang menurut orang-orang dekatnya tak pernah meninggalkan qiyâmul-lail sejak masa mudanya, meski dia sedang berada di atas pesawat ter­bang dan zahid luar biasa. Hidupnya dihabiskan un­tuk melawan thâghût dan membebaskan mus­tadh‘afîn. De­­­­mi­kian mengagumkan kualitas kesufian­nya sehingga, salah seorang yang tak suka kepa­danya akibat men­jadi korban revolusi karena kede­kat­an­nya dengan Syah Iran yakni Seyyed Hossein Nasr, seorang ahli me­nge­nai tasawuf, Syi’iy, dan dari Iran juga pernah (secara lisan) menyatakan bahwa menurutnya Imam Khomeini telah melampaui empat perjalanan (al-asfâr al-arba‘ah) sebagai suatu siklus-pari­purna perjalanan seorang Muk­­min. Bahkan, ba­nyak orang dekatnya amat percaya dan melihat banyak dari apa yang dianggap sebagai keramat Imam Khomeini. Tapi, kalau kita baca karya-karyanya, Imam Khomeini tak pernah menyebut-nyebut bahwa dirinya mengalami fanâ’, dan sebagainya, apalagi me­miliki keramat. Bahkan, sebaliknya, di berbagai tempat dia selalu mencela dirinya, mengungkapkan penyesal­an atas cacat-cacatnya, dan terus beristighfar kepada Allah Swt. atas banyaknya kekurangan-kekurangan dalam dirinya.

Contoh kedua terkait dengan kasus Lia Aminuddin, yang mengaku sering mendapat wahyu dari Malaikat Jibril. Meski tidak dekat, saya kenal secara pribadi de­ngan dia. Pada saat-saat-awalnya, saya selalu men­da­­pat­kan buku-buku dari dia. Beberapa orang murid­nya saya kenal baik. Seperti mudah diduga, mereka ber­usaha meyakinkan kita tentang kewalian Lia Aminuddin dengan jalan memaparkan keramat-keramat yang di­milikinya. Beberapa buku telah dicetak berkenaan de­ngan hal ini. Beberapa orang teman terpengaruh, yang lain kebingungan dalam menanggapi. Saya sendiri, alhamdulillah, sama sekali tak mengalami kesulitan apa-apa. Saya biarkan saja muridnya bercerita panjang-le­bar tentang keramat Ibu Lia. Setelah selesai dan puas, saya bilang dengan sopan: Buat saya, keramat-keramat atau klaim-klaim tentang pencapaian spiritual sese­orang tak terlalu relevan. (Meski tentu saja saya tidak bilang tidak percaya. Karena saya tidak punya bukti, di samping hal seperti itu mungkin saja terjadi pada seseorang). Yang saya sampaikan adalah: kalau benar Ibu Lia memiliki banyak keramat, lalu apa? So what? Yang penting buat saya ketika menilai seseorang adalah amal-amalnya. Soal betul tidaknya dia sering berceng­kerama dengan Malaikat Jibril, itu hanya dia dan Rabb-nya yang tahu. Yang saya lihat adalah, apakah akhlak­nya Ibu Lia itu baik atau tidak. Apakah Ibu Lia adalah orang yang peka lingkungan atau tidak. Apakah dia sa­ngat concern terhadap kaum dhu‘afâ’ dan mus­tadh‘afin atau tidak.

Alhasil, mengalami ­fanâ’ atau tidak, punya keramat atau tidak, seseorang hanya bisa dibilang sebagai orang sufi kalau dia menanamkan pada dirinya akhlak karimah yang diajarkan Islam, dan ke­beradaannya memberikan manfaat besar kepada sesa­manya, khususnya yang mem­butuhkan uluran tangan­nya

Agama Menurut Ibn' Arabi

Agama Menurut Ibn' Arabi

Agama Menurut Ibn' Arabi, Islam Indonesiaku, Islami, Sejarah Islam, Tentang Islam, And All About Information

Orang hidup tidak lepas dari Agama, karena agama adalah yang menjadi landasan hidup kita. Meski menganggap bahwa semua agama adalah kebenaran, namun Ibn ’Arabi berpendapat bahwa agama yang paripurna dan serba mencakup adalah agama Islam. Agama-agama lain diturunkan sesuai dengan konteks zaman dan kaum yang kepadanya agama itu diturunkan. Tidak demikian halnya dengan agama Islam. Agama terakhir, yang dibawa oleh Nabi terakhir, ini telah mencakup kesemua agama terdahulu.
”Semua agama wahyu (sharai’) adalah cahaya. Di antara agama-agama ini, agama yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw adalah seperti cahaya matahari di antara cahaya bintang-bintang lain.
Ketika matahari muncul, cahaya bintang-bintang lain akan tersembunyi dan cahaya tercakup dalam cahaya matahari. Ketersembunyian ini adalah seperti pe-nasakh-an agama-agama lain itu melalui (kehadiran) agama yang diwahyukan kepada Muhammad. Sekalipun demikian, agama-agama itu sebenarnya tetap eksis, sebagaimana cahaya-cahaya bintang (tetap) terpancar. Hal ini menjelaskan mengapa dalam agama serba-inklusif kita, kita diwajibkan untuk percaya pada kebenaran semua rasul dan semua agama yang diwahyukan. Semua agama tersebut tidak menjadi batal dengan adanya penghapusan (nasakh) – itu adalah pendapat orang bodoh. Yang benar adalah, berbagai syari’ah itu semuanya bermuara pada syari’ah Nabi. ”

Menurut sang Syaikh, sebelum turun ke alam tajalliy, syari’at adalah tunggal. Baru ketika berada di alam ciptaan, dan terikat oleh zaman, masyarakat, dan lokasi-geografis, ia menjadi beragam sejalan dengan kekhasan misi dan risalah masing-masing nabi.

Pandangan Ibn ‘Arabi tentang posisi Islam di tengah agama-agama lain ini terkait erat dengan gagasannya tentang Nur Muhammadi atau Haqiqah Muhammadiyah, sebagai ciptaan pertama yang mencakup tajalliy sempurna (yang mungkin) dari Allah. Nah keberadaan para Nabi sesungguhnya mengambil bagian dalam Nur Muhammadi ini. Dalam konteks ini, Ibn ‘Arabi memahami bahwa syari’at Muhammad bukanlah hanya penyempurna bagi syari’at-syari’at terdahulu. Yang lebih penting adalah bahwa sesungguhnya keberadaan syari’at-syari’at terdahulu adalah bagian dari upaya merealisasikan syari’at Muhammad, dalam konteks zaman dan masyarakat yang di dalamnya para Nabi, sebelum Muhammad, diutus. Dengan kata lain, syari’at-syari’at terdahulu adalah manifestasi kontekstual dari syari’at Nabi Muhammad, yang disebutnya sebagai “syari’at penuh rahmat”.

Di tempat lain Ibn ’Arabi mengutip sabda Nabi Muhammad saw: “Nabi Isa (Jesus) pun, seandainya turun sekarang ini, niscaya tidak akan mengimami kita kecuali dengan mengikuti sunnah kami, dan tidak akan memutuskan suatu perkara kecuali dengan syari`ah kami.

Akhirnya, setiap tulisan tentang gagasan Ibn ‘Arabi tentang agama-agama tak akan lengkap tanpa membahas sebuah cuplikan sya’ir Ibn ‘Arabi, yang sering dimaknai sebagai sikap sang Syaikh untuk menyamakan semua agama.

Hatiku telah mampu menerima aneka bentuk (forma); ia merupakan padang-rumputnya menjangan, biaranya para rahib, rumahnya berhala, ka`bah tempat orang bertawaf, sabaknya Taurat, dan mushafnya al-Qur’an. Agamaku adalah agama cinta, yang kuikuti kemana pun langkahnya; itulah agama dan keimananku:

Berdasarkan puisi ini, Seyyed Hosein Nasr, misalnya, menyimpulkan bahwa Ibn Arabi “menyadari bahwa syari’at-syari’at yang diturunkan Tuhan adalah menuju ke puncak/tujuan-akhir yang sama.” Pernyataan Nasr bisa dibenarkan dalam makna bahwa semua agama memang memanifestasikan kebenaran, seperti diuraikan di atas. Tapi, adalah Islam yang merupakan perwujudan paling sempurna dan meliputi dari “kemauan” Tuhan di alam pasca tajalliy-Nya. Meski agama-agama lain juga didasarkan pada cinta, tapi adalah Islam yang paling tepat disebut sebagai agama cinta. Selain didukung oleh gagasan umumnya tentang agama-agama, hal ini dipertegas oleh pernyataan Ibn ‘Arabi sendiri dalam dalam Dzakha’ir al-A‘laq (syarah Tarjuman al-Asywaq), bahwa bahwa `agama cinta’ yang ia maksud – melampaui kebenaran agama-agama lain -- ialah agama Nabi Muhammad. Hal ini dipertegas dengan rujukannya kepada firman Allah dalam al-Quran :
 “Katakanlah (hai Muhammad), kalau kalian betul-betul mencintai Allah, maka ikutilah aku –niscaya Allah akan mencintai kalian.” (QS. 2 :31)

Pengertian Tasawuf

Pengertian Tasawuf

Apa tu Tasawuf? Suatu pagi, setelah shalat jamaah subuh, penglihatan Rasulullah tertumbuk pada seorang anak muda Haritsah bin Malik bin Nu’man Al-Anshari. Kurus dan pucat, kedua matanya sembap, dia tampak seperti linglung dan tak bisa tetap berdiri. “Bagaimana keada­anmu?” Tanya Rasulullah. “Saya telah sampai pada ke­imanan tertentu,” si anak muda menyahut. “Apakah tanda-tanda keimananmu?” Nabi bertanya lagi. Anak muda itu menjawab “bahwa keimanannya telah me­neng­­gelamkannya ke dalam kesedihan.” Hal itu telah mem­buat­nya tak bisa tidur di malam hari (untuk ber­ibadah) dan dahaga di siang hari (dalam berpuasa). Ke­adaan itu juga telah sepenuhnya menceraikannya dari dunia ini dan segala urusannya sedemikian, sehingga seolah-olah dia dapat melihat ‘Arasy Allah telah di­te­gakkan untuk memulai perhitungan atas (amal-amal) umat manusia, dan bahwa ia bersama seluruh manusia telah di­bang­kit­kan dari kematian. Dikatakannya pula bahwa pada saat itu pun ia merasa dapat melihat para ahli surga me­nikmati karunia-karunia Allah, dan para ahli neraka menderita siksaan-siksaannya dan bahwa ia dapat men­dengar gemuruh jilatan apinya. Men­dengar itu Nabi menoleh kepada para sahabatnya se­raya berkata, “Ini adalah seseorang yang hatinya telah disinari dengan cahaya keimanan oleh Allah.” Lalu Nabi pun berkata kepada si anak muda, “Pertahankan ke­adaanmu ini, dan jangan biarkan ia lepas darimu.” “Ber­doalah bagiku,” sahut si anak muda, “agar Allah mengaruniaiku dengan syahadah.”

Syahdan, tak lama setelah pertemuan itu, sebuah peperangan meletus, dan si anak muda ikut serta. Dia mendapatkan syahadah yang didambakannya.

Hadis di atas seringkali dikutip orang sebagai salah satu petunjuk mengenai tradisi tasawuf di zaman Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam. Muhammad Iqbal, pujangga Muslim dari Anak-Benua India itu, malah me­­­nyebutnya sebagai semacam penelitian yang dilakukan oleh sang Nabi atas gejala psikologis tepatnya gejala spiritual yang belakangan lebih dikenal sebagai gejala sufistik itu. Kisah di atas sekaligus bisa menjadi ilustrasi bagi pemahaman makna ihsân yang dianggap sebagai dasar penghayatan kesufian dan, bersama iman dan Islam, membangun trilogi kelengkapan prinsip-prinsip agama Islam. Seperti telah banyak diketahui, terungkap dalam hadis masyhur yang lain bahwa lewat Jibril Al-Amin, para sahabat telah diajar makna ihsân sebagai “(suatu situasi yang di dalamnya seseorang) beribadah dalam keadaan seolah-olah ia melihat Allah atau, kalau pun tak dapat melihat-Nya, ia yakin bahwa Allah Meli­hatnya.

Lalu apa itu Pengertian Tasawuf?

Amat banyak rujukan disampaikan oleh para ahli terhadap asal-muasal istilah tasawuf ini. Dalam ber­bagai buku teks tasawuf, kata ini biasanya dirujukkan kepada beberapa kata dasar. Termasuk di dalamnya shaff (baris, dalam shalat) karena dianggap kaum sufi berada dalam shaff pertama. Atau shûf, yakni bahan wol atau bulu domba kasar yang biasa mencirikan pa­kai­an kaum sufi. Atau juga ahl al-shuffah, yakni para zâhid (pezuhud) dan ‘âbid (ahli ibadah) yang tak punya rumah dan tinggal di serambi masjid Nabi. Ada juga yang me­ngait­kannya dengan nama sebuah suku Badui yang memiliki gaya hidup sederhana, yakni Bani Shufa. Meski jarang, sebagian yang lain mengaitkan asal-muasal istilah ini dengan sophon, atau sufa, atau sufin, yang bermakna pelayanan kegerejaan (kerahiban). Jabir bin Hayyan seorang alkemis yang disebut-sebut sebagai murid Imam Ja‘far Shadiq dikatakan mengaitkan istilah ini dengan shufâ’, yang bermakna penyucian sulfur merah.

Di dalam berbagai buku tasawuf, menurut Abdul Qadir Al-Suhrawardi, ada lebih dari seribu definisi istilah ini. Tapi, pada umumnya, berbagai definisi itu mencakup atau mengandung makna shafâ’ (suci), wara‘ (kehati-hatian ekstra untuk tidak melanggar batas-batas agama), dan ma‘rifah (pengetahuan ketuhanan atau tentang hakikat segala sesuatu). Tapi, kepada apa pun diru­jukkan, semua sepakat bahwa kata ini terkait dengan akar shafâ’ yang berarti suci. Pada gilirannya, ia akan bermuara pada ajaran Al-Quran tentang penyucian hati.
Demi nafs dan penyempurnaan (penciptaan)-nya … Telah berjayalah orang-orang yang menyucikannya. Dan telah gagallah orang-orang yang mengotorinya. (QS Al-Syams [91]: 7-10)
Kata menyucikan (zakkâ) yang dipakai ayat di atas berasal dari akar kata yang juga membentuk salah satu ungkapan-kunci tasawuf, yaitu tazkiyah al-nafs (pe­nyucian jiwa). Lebih jauh dari itu, dalam kosa kata tasa­wuf istilah ini biasa disinonimkan dengan tashfiyah lagi sebuah kata benda bentukan (mashdar) dari akar-kata shafâ’.

Dengan demikian, pada dasarnya tasawuf adalah upaya para ahlinya untuk mengembangkan semacam disiplin (riyâdhah) spiritual, psikologis, keilmuan dan jasmaniah yang dipercayai mampu mendukung proses penyucian jiwa atau hati sebagaimana diperintahkan dalam Kitab Suci tersebut.

Kiranya ini semua didukung oleh hadis Nabi yang amat populer yang berbunyi: “Di dalam diri manusia ada segumpal organ. Jika baik organ tersebut, maka baiklah semua diri orang itu. Dan jika buruk organ itu, akan buruklah semua diri orang yang memilikinya. Organ tersebut adalah hati.” Nabi kemudian diriwayat­kan menyatakan: “Jika seorang Mukmin melakukan ke­burukan, maka muncullah satu titik hitam dalam hati­nya. Jika ia terus-menerus melakukan keburukan, maka makin banyak titik hitam yang melekat di hatinya.” Jika sudah demikian, dapat diduga bahwa pada akhir­nya hati orang seperti ini akan sepenuhnya tertutupi dengan lapisan hitam, yang akan menghalanginya dari mendapatkan cahaya Allah Swt. yang sesungguhnya selalu siap menyinari hati setiap manusia. Maka, se­baliknya dari menjadi hati nurani (hati yang bersinar), hati orang seperti ini bagaikan berkarat dan dikuasai oleh penyakit. Tasawuf, sebagaimana dikatakan di atas, adalah suatu upaya suatu metode, disiplin untuk menaklukkan al-nafs al-ammârah bi al-sû’ (nafsu yang mendorong-dorong untuk melakukan keburukan) agar kita terhindar dari keadaan hati yang berdaki seperti itu. [INDONESIAKU ISLAM]