Memetik Buah Tasawuf |
Yang pasti, segala pembicaraan tentang keajaiban-keajaiban yang konon sering menyertai pengalaman tasawuf, sama sekali kurang penting. Malah, bagi para sufi sejati, pemilikan kemampuan supranatural (krâmah) seperti ini justru mereka anggap sebagai ujian. Yakni apakah dengan itu mereka akan tetap rendah hati atau justru sombong dan melupakan hakikat kesufian. Saya khawatir orang akan cenderung menekankan pada soal-soal yang tak bisa diverifikasikan ini dan malah kurang mementingkan buahnya tasawuf, yaitu pemilikan akhlak yang mulia, orientasi amal saleh, dan kebersihan hati untuk meraih ilmu sejati (ma‘rifah).
Apakah seseorang memiliki dan mengalami kejadian-kejadian yang ajaib dalam bentuk kemampuan supranatural atau mengalami kesirnaan (fanâ’) adalah persoalan seseorang dengan Tuhannya. Pada puncaknya, yang lebih relevan adalah buah tasawuf itu. Lagi pula, sekadar pengalaman semacam fanâ’ yang diklaim sebagai dialami oleh para sufi atau orang-orang yang mengaku menjalani hidup tasawuf, kenyataannya juga dialami oleh banyak non-Muslim bahkan ateis. Cukup kita baca, sebagai sekadar contoh, The Tao of Physics-nya Fritjof Capra (seorang fisikawan yang mengklaim pernah mengalami keadaan mirip fanâ’ ini) ataupun Nauseea karya J.P. Sartre yang ateis dan Marxis itu.
Dua Contoh
Untuk menjelaskan apa yang saya maksudkan dengan penekanan terhadap buah dari kehidupan tasawuf, alih-alih berbicara tentang keramat itu, saya akan memberikan dua contoh di bawah ini.Yang pertama tentang Imam Khomeini. Sejak belum berumur 30 tahun, dia sudah menulis syarah-syarah atas buku Syaikh Al-Akbar Ibn ‘Arabi dan Dawud Qaisari, sehingga membuat kagum guru-gurunya. Secara ‘amalî, dia adalah seorang ‘âbid yang menurut orang-orang dekatnya tak pernah meninggalkan qiyâmul-lail sejak masa mudanya, meski dia sedang berada di atas pesawat terbang dan zahid luar biasa. Hidupnya dihabiskan untuk melawan thâghût dan membebaskan mustadh‘afîn. Demikian mengagumkan kualitas kesufiannya sehingga, salah seorang yang tak suka kepadanya akibat menjadi korban revolusi karena kedekatannya dengan Syah Iran yakni Seyyed Hossein Nasr, seorang ahli mengenai tasawuf, Syi’iy, dan dari Iran juga pernah (secara lisan) menyatakan bahwa menurutnya Imam Khomeini telah melampaui empat perjalanan (al-asfâr al-arba‘ah) sebagai suatu siklus-paripurna perjalanan seorang Mukmin. Bahkan, banyak orang dekatnya amat percaya dan melihat banyak dari apa yang dianggap sebagai keramat Imam Khomeini. Tapi, kalau kita baca karya-karyanya, Imam Khomeini tak pernah menyebut-nyebut bahwa dirinya mengalami fanâ’, dan sebagainya, apalagi memiliki keramat. Bahkan, sebaliknya, di berbagai tempat dia selalu mencela dirinya, mengungkapkan penyesalan atas cacat-cacatnya, dan terus beristighfar kepada Allah Swt. atas banyaknya kekurangan-kekurangan dalam dirinya.
Contoh kedua terkait dengan kasus Lia Aminuddin, yang mengaku sering mendapat wahyu dari Malaikat Jibril. Meski tidak dekat, saya kenal secara pribadi dengan dia. Pada saat-saat-awalnya, saya selalu mendapatkan buku-buku dari dia. Beberapa orang muridnya saya kenal baik. Seperti mudah diduga, mereka berusaha meyakinkan kita tentang kewalian Lia Aminuddin dengan jalan memaparkan keramat-keramat yang dimilikinya. Beberapa buku telah dicetak berkenaan dengan hal ini. Beberapa orang teman terpengaruh, yang lain kebingungan dalam menanggapi. Saya sendiri, alhamdulillah, sama sekali tak mengalami kesulitan apa-apa. Saya biarkan saja muridnya bercerita panjang-lebar tentang keramat Ibu Lia. Setelah selesai dan puas, saya bilang dengan sopan: Buat saya, keramat-keramat atau klaim-klaim tentang pencapaian spiritual seseorang tak terlalu relevan. (Meski tentu saja saya tidak bilang tidak percaya. Karena saya tidak punya bukti, di samping hal seperti itu mungkin saja terjadi pada seseorang). Yang saya sampaikan adalah: kalau benar Ibu Lia memiliki banyak keramat, lalu apa? So what? Yang penting buat saya ketika menilai seseorang adalah amal-amalnya. Soal betul tidaknya dia sering bercengkerama dengan Malaikat Jibril, itu hanya dia dan Rabb-nya yang tahu. Yang saya lihat adalah, apakah akhlaknya Ibu Lia itu baik atau tidak. Apakah Ibu Lia adalah orang yang peka lingkungan atau tidak. Apakah dia sangat concern terhadap kaum dhu‘afâ’ dan mustadh‘afin atau tidak.
Alhasil, mengalami fanâ’ atau tidak, punya keramat atau tidak, seseorang hanya bisa dibilang sebagai orang sufi kalau dia menanamkan pada dirinya akhlak karimah yang diajarkan Islam, dan keberadaannya memberikan manfaat besar kepada sesamanya, khususnya yang membutuhkan uluran tangannya
Posting Komentar