Info
|
Profil G+ Profil Facebook Profil twitter
Home » » Memetik Buah Tasawuf

Memetik Buah Tasawuf

Written By xxxxx on Sabtu, 18 Mei 2013 | 16.17

Memetik Buah Tasawuf [Indonesiaku Islam] - Tasawuf, seperti juga filsafat, biasanya dikelompokkan menjadi dua, yaitu nazharî (teoretis spekulatif) dan ‘amalî (praktis). Meski tingkat-tingkat (maqâmât) dan keada­an-keada­an (ahwâl ) bagi pelaku (sâlik) yang telah men­capainya merupakan sebuah penga­laman (dzauqî ) dan karena itu bersifat ‘amalî, pembicaraan atau diskusi me­nge­nainya bersifat nazharî. Namun, pen­capaian maqâmât dan ahwâl seperti itu sesuai sifatnya yang sepenuhnya bersifat dzauqî (intuitif) itu tak bisa ter­ungkapkan secara memadai lewat teori atau spekulasi seperti apa pun. Dengan kata lain, meski saya secara pribadi percaya kepada manifestasi-manifestasi peng­a­laman religius sedemikian, sesungguhnya kesemua­nya itu ada­lah per­soalan yang bersifat pribadi.
Memetik Buah Tasawuf, Indonesia Islam, Islami, Sejarah islam, islam agamaku, tentang islam, hukum islam, solawatan, download solawatan
Memetik Buah Tasawuf
Memang tak harus kita bersikap ekstrem dengan menga­takan, tidak perlulah kita berurusan dengan aspek teoretis pengalaman-pengalaman seperti itu. Berurus­an dengan soal-soal seperti ini jelas tetap diper­lukan. Setidak-tidaknya, dengan mengetahui soal-soal seperti ini boleh jadi orang dapat memahami nyaris tak ter­batasnya potensi kemanusiaan kita dalam meng­upaya­­kan qurb (kedekatan) dan uns (kemesraan) dengan Allah Swt. Seberapa rendah pun tingkat ke­ber­hasil­annya. Juga mudah-mudahan dengan itu kita bisa mem­­ba­yang­­kan betapa besar kenikmatan orang yang bisa me­ng­a­lami­nya jika dibandingkan dengan kenikmatan-kenik­­­matan duniawi. Agar, pada gilirannya kita termo­tivasi untuk berjalan ke arah itu. Belum lagi manfaatnya da­lam pengembangan epistemologi alternatif yang meng­akomodasikan peran intuisi (dzauq) sebagaimana dipro­mosikan oleh tasawuf teoretis ini (lihat diskusi menge­nai pengetahuan presensial dalam bab “Mencari Tasawuf Rasional”).

Yang pasti, segala pembicaraan tentang ke­ajaib­an-keajaiban yang konon sering menyertai peng­alaman ta­sawuf, sama sekali kurang penting. Malah, bagi para sufi sejati, pemilikan kemampuan supranatural (k­râmah) seperti ini justru mereka anggap sebagai ujian. Yakni apakah dengan itu mereka akan tetap ren­dah hati atau justru sombong dan melupakan hakikat kesufian. Saya khawatir orang akan cenderung mene­­­kan­kan pada soal-soal yang tak bisa diverifikasikan ini dan malah kurang mementingkan buahnya tasawuf, yaitu pemilik­an akhlak yang mulia, orientasi amal saleh, dan ke­bersihan hati untuk meraih ilmu sejati (ma‘rifah).

Apakah se­seorang memiliki dan mengalami kejadian-kejadian yang ajaib dalam bentuk kemampuan supra­natural atau menga­lami kesirnaan (fanâ’) adalah per­soal­an seseorang de­ngan Tuhannya. Pada puncaknya, yang lebih relevan ada­lah buah tasawuf itu. Lagi pula, sekadar pengalaman sema­cam fanâ’ yang diklaim se­bagai dialami oleh para sufi atau orang-orang yang me­­­ngaku menjalani hidup tasa­wuf, kenyataannya juga dialami oleh banyak non-Muslim bahkan ateis. Cukup kita baca, sebagai seka­dar contoh, The Tao of Physics-nya Fritjof Capra (se­orang fisikawan yang mengklaim pernah mengalami keadaan mirip fanâ’ ini) ataupun Nauseea karya J.P. Sartre yang ateis dan Marxis itu.

Dua Contoh

Untuk menjelaskan apa yang saya maksudkan dengan penekanan terhadap buah dari kehidupan tasawuf, alih-alih berbicara tentang keramat itu, saya akan mem­berikan dua contoh di bawah ini.

Yang pertama tentang Imam Khomeini. Sejak be­lum berumur 30 tahun, dia sudah menulis syarah-syarah atas buku Syaikh Al-Akbar Ibn ‘Arabi dan Dawud Qaisari, sehingga membuat kagum guru-gurunya. Secara ‘amalî, dia adalah seorang ‘âbid yang menurut orang-orang dekatnya tak pernah meninggalkan qiyâmul-lail sejak masa mudanya, meski dia sedang berada di atas pesawat ter­bang dan zahid luar biasa. Hidupnya dihabiskan un­tuk melawan thâghût dan membebaskan mus­tadh‘afîn. De­­­­mi­kian mengagumkan kualitas kesufian­nya sehingga, salah seorang yang tak suka kepa­danya akibat men­jadi korban revolusi karena kede­kat­an­nya dengan Syah Iran yakni Seyyed Hossein Nasr, seorang ahli me­nge­nai tasawuf, Syi’iy, dan dari Iran juga pernah (secara lisan) menyatakan bahwa menurutnya Imam Khomeini telah melampaui empat perjalanan (al-asfâr al-arba‘ah) sebagai suatu siklus-pari­purna perjalanan seorang Muk­­min. Bahkan, ba­nyak orang dekatnya amat percaya dan melihat banyak dari apa yang dianggap sebagai keramat Imam Khomeini. Tapi, kalau kita baca karya-karyanya, Imam Khomeini tak pernah menyebut-nyebut bahwa dirinya mengalami fanâ’, dan sebagainya, apalagi me­miliki keramat. Bahkan, sebaliknya, di berbagai tempat dia selalu mencela dirinya, mengungkapkan penyesal­an atas cacat-cacatnya, dan terus beristighfar kepada Allah Swt. atas banyaknya kekurangan-kekurangan dalam dirinya.

Contoh kedua terkait dengan kasus Lia Aminuddin, yang mengaku sering mendapat wahyu dari Malaikat Jibril. Meski tidak dekat, saya kenal secara pribadi de­ngan dia. Pada saat-saat-awalnya, saya selalu men­da­­pat­kan buku-buku dari dia. Beberapa orang murid­nya saya kenal baik. Seperti mudah diduga, mereka ber­usaha meyakinkan kita tentang kewalian Lia Aminuddin dengan jalan memaparkan keramat-keramat yang di­milikinya. Beberapa buku telah dicetak berkenaan de­ngan hal ini. Beberapa orang teman terpengaruh, yang lain kebingungan dalam menanggapi. Saya sendiri, alhamdulillah, sama sekali tak mengalami kesulitan apa-apa. Saya biarkan saja muridnya bercerita panjang-le­bar tentang keramat Ibu Lia. Setelah selesai dan puas, saya bilang dengan sopan: Buat saya, keramat-keramat atau klaim-klaim tentang pencapaian spiritual sese­orang tak terlalu relevan. (Meski tentu saja saya tidak bilang tidak percaya. Karena saya tidak punya bukti, di samping hal seperti itu mungkin saja terjadi pada seseorang). Yang saya sampaikan adalah: kalau benar Ibu Lia memiliki banyak keramat, lalu apa? So what? Yang penting buat saya ketika menilai seseorang adalah amal-amalnya. Soal betul tidaknya dia sering berceng­kerama dengan Malaikat Jibril, itu hanya dia dan Rabb-nya yang tahu. Yang saya lihat adalah, apakah akhlak­nya Ibu Lia itu baik atau tidak. Apakah Ibu Lia adalah orang yang peka lingkungan atau tidak. Apakah dia sa­ngat concern terhadap kaum dhu‘afâ’ dan mus­tadh‘afin atau tidak.

Alhasil, mengalami ­fanâ’ atau tidak, punya keramat atau tidak, seseorang hanya bisa dibilang sebagai orang sufi kalau dia menanamkan pada dirinya akhlak karimah yang diajarkan Islam, dan ke­beradaannya memberikan manfaat besar kepada sesa­manya, khususnya yang mem­butuhkan uluran tangan­nya
Share this post :

Posting Komentar