Info
|
Profil G+ Profil Facebook Profil twitter
Home » » Islam dan Politik part 1

Islam dan Politik part 1

Written By xxxxx on Sabtu, 18 Mei 2013 | 16.27

Islam dan Politik part 1 [Indonesiaku Islam] - Di antara sederet manfaat Twitter, salah satunya dirasakan oleh penulis baru-baru ini. Beberapa waktu lalu, penulis asyik terlibat dalam "diskusi virtual" menarik di Twitter dengan Ulil Abshar Abdalla (intelektual Muslim sekaligus pendiri Jaringan Islam Liberal) dan juga Syafiq Basri (jurnalis sekaligus intelektual Muslim). Diskusi itu dimulai dari inisiatif Ulil untuk kultwit (kuliah Twitter; sebuah 'kuliah' khas 'masyarakat' Twitter yang manfaatnya bisa lebih dari kuliah di kampus formal) tentang Islam sebagai agama yang kaffah, kamil dan syamil (sempurna dan menyeluruh).
Islam dan Politik part 1, Indonesia Islam, Islami, Sejarah islam, islam agamaku, tentang islam, hukum islam, solawatan, download solawatan
Islam dan Politik part 1
Melalui kultwit itu, Ulil memaparkan bahwa istilah "Islam kaffah" bersumber dari ideologi Ikhwanul Muslim dan kemudian diikuti oleh kelompok masyarakat Muslim yang sering disebut jamaah tarbiyah (cikal bakal PKS). Sampai di sini, perlu penulis beri catatan bahwa kultwit dan diskusi penulis dengan Saudara Ulil berlangsung jauh hari sebelum mantan Presiden PKS, Lutfi Hasan Ishaq, tertangkap oleh KPK karena dugaan korupsi.

Masih menurut Ulil, istilah Islam kaffah itu digunakan mereka untuk mengokohkan ideologi politik Islamisme-nya. Dalam artian, dengan 'membajak' istilah itu, mereka hendak menegaskan Islam sebagai ideologi (bukan lagi agama) yang sempurna. Nah, politisasi atas istilah itulah yang dikritisi oleh Ulil melalui kultwitnya itu.

Menurut penulis, sebagai kritik terhadap Ikhwanul Muslimin, dkk, kultwit itu sangat tepat dan mengena. Sebab, sebagaimana kritik Faraq Fouda dalam "Al-Haqiqah Al-Ghaybah" (terj: "Kebenaran yang Hilang" (2008), Paramadina), dalam keyakinan mereka, Nabi Muhammad tak pernah melakukan suksesi kepemimpinan. Karenanya, suksesi yang dipilih oleh masing-masing khalifah dari khulafaur rasyidin 'pun berbeda-beda. Sebab, tak ada ketentuan suksesi secara baku dari Nabi Muhammad. Oleh karena itu, dalam twit ke 67-nya, Ulil bertanya, "Jika benar hukum syariat sempurna, seperti diklaim aktivis tarbiyah, mestinya 'kan ada hukum soal suksesi kepemimpinan?"

Sejauh sebagai kritik atas mereka, penulis sendiri setuju dengan pertanyaan Ulil itu. Sebab, dalam keyakinan mereka, suksesi kepemimpinan memang benar-benar tak pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad. Namun, jika pertanyaan itu diposisikan sebagai pertanyaan, bukan lagi kritik, maka penulis mulai tak setuju dan terlibat diskusi yang sungguh asyik dan mencerahkan.

Menurut penulis, dan ini juga diyakini oleh Muslim-Syiah, merujuk pada ayat yang juga dibawa oleh Ulil dalam kultwit itu, yakni Al-Maidah: 3 yang isinya, "Hari ini, Aku (Tuhan) sempurnakan bagimu agamamu, dan Aku lengkapkan nikmatku untukmu, dan Aku rela Islam sebagai agamamu.", suksesi kepemimpinan dilakukan oleh Nabi Muhammad. Dan, salah satu episode suksesi itu adalah saat ayat itu diturunkan. Ayat itu turun sebagai jawaban atas suksesi kepemimpinan yang telah dilakuakn oleh Nabi Muhammad kepada Sayyidina Ali Bin Abi Thalib. Dan, episode sukses kepemimpinan itu diabadikan oleh begitu banyak hadist mutawatir (hadist terpercaya yang periwayatannya sangat kuat) oleh begitu banyak periwayat hadist. Oleh karena itu, keberadaan suksesi itu tak dinafikan oleh ulama Muslim, baik Syiah maupun Sunni. Hanya saja, keduanya beda dalam menafsirkan makna suksesi itu. Jika Syiah menafsir itu suksesi kepemimpinan agama dan politik, tapi Sunni menafsir bahwa itu hanyalah suksesi kepemimpinan agama, sebagaimana juga ditegaskan oleh Ulil dalam salah satu twitnya di rangkaian kultwitnya itu.

Namun, tulisan ini bukan hendak mendiskusikan polemik tentang ada-tidaknya suksesi kepemimpinan itu, serta perbedaan penafsiran atasnya. Menurut penulis, polemik tentang hal itu telah sering terjadi di antara ulama maupun tokoh Islam yang direkam di banyak buku, namun tak pernah ada titik temunya. Masing-masing memiliki keyakinan dan tafsirannya sendiri-sendiri yang bagi penulis keberagaman itu wajib dihargai, dihormati dan dipandang sebagai kekayaan khazanah intelektual Islam. Yang hendak dipaparkan dalam tulisan ini adalah keyakinan Syiah tentang konsep politik Islam/ Mengapa? Sebab, pandangan dan keyakinan Syiah tentang hal itu relatif berbeda dan bisa menjadi alternatif guna memperkaya khazanah intelektual Islam dan menambah wawasan keislaman kita.

Tentu, berdasar ayat itu dan berbagai hadist pendukungnya yang diriwayatkan secara mutawatir, Syiah meyakini konsep politik Islam di zaman Nabi Muhammad adalah teokrasi (pemimpin dipilih langsung Tuhan melalui nash Qur'an dan ditegaskan oleh lidah suci Nabi-Nya). Karenanya, suksesi kepemimpinan dilakukan langsung oleh Nabi Muhammad berdasarkan perintah Tuhan. Dan, Syiah meyakini pemimpin setelah Nabi Muhammad adalah Sayyidina Ali Bin Abi Thalib, kemudian anaknya yang bernama Sayyidina Hasan, dilanjutkan adik Sayyidina Hasan yang bernama Sayyidina Husain serta terus berlanjut secara turun-temurun hingga imam ke-12 Syiah Imamiyah yang bernama Imam Mahdi.

Mengapa di zaman para imamnya, Syiah meyakini konsep politik teokrasi? Pertama, karena Syiah meyakini konsep politik teokrasi sebagai konsep politik Islam yang ditopang oleh nash Qur'an dan hadist Nabi yang mutawatir. Kedua, karena Syiah juga meyakini bahwa para imamnya itu adalah manusia suci yang terbebas dari dosa (maksum) dan telah sampai pada puncak kebijaksanaan. Ketiga, karena dalam ajaran Syiah, tak ada konsep pemisahan antara agama dan politik. Bagi Syiah, keduanya integral. Keempat, karena di zamannya masing-masing, para imam Syiah itu juga didukung oleh masyarakat Muslim. Hanya saja, oleh rezim yang berkuasa, baik Bani Umayyah maupun Bani Abbas, para imam itu ditarik dan dijauhkan dari tengah-tengah umat dan rakyat, ditekan, dipenjara dan dibunuh, agar tak dinobatkan rakyat menjadi pemimpin agama sekaligus politik. Singkatnya, keyakinan Syiah akan teokrasi karena mereka memiliki nash dan argumentasi yang kuat yang menegaskan bahwa teokrasi merupakan konsep politik Islam di masa para imam maksum itu.

Namun, sebagaimana ditulis sejarah, para imam itu tak hidup sampai sekarang. Sejak tahun 329 H, imam ke-12 (imam terakhir) Syiah yang bernama Imam Mahdi ghaibah kubro (kegaiban besar). Artinya, sejak saat itu, tak ada lagi sosok imam atau pun wakil definitif imam di muka bumi. Maka, secara otomatis, menurut penulis, teokrasi seperti yang diyakini Syiah di masa hidup para imamnya 'pun tak berlaku.
Share this post :

Posting Komentar