Islam dan Politik part 2 |
Namun, menurut Nasrullah, Libanon dengan pluralitas rakyatnya bukan negeri yang tepat untuk melakukan "revolusi Islam" seperti yang dilakukan Imam Khomaeni di Iran. Lebih jauh lagi, meskipun konsep politik "wilayatul faqih" yang dijadikan sistem politik Republik Islam Iran pasca Revolusi Islam Iran 1979 oleh Imam Khomaeni merupakan sebuah gagasan politik yang cemerlang dan terbukti mampu menekan arogansi dan kedigdayaan Amerikan Serikat (AS), Israel dan sekutunya di Timur Tengah serta membela etnis maupun negara tertindas seperti Gaza (Palestina), namun sejak dulu hingga kini, konsep itu pun tak lepas dari kritik, baik dari internal tokoh Iran sendiri maupun ulama luar Iran, seperti Ali Syariati (filosof dan sosiolog Iran) dan Ayatullah Muhammad Husein Fadlullah (ulama besar Syiah di Libanon). Dan, dalam konteks Syiah sendiri, sikap kritis atau bahkan tak setuju dengan konsep politik Islam apapun, dimanapun yang yang dibentuk oleh siapapun di zaman ghaibah kubro seperti saat ini, sah-sah saja dan sama sekali tak berdosa atau melanggar nilai-nilai Islam Syiah, baik di tingkat dasar agama (ushuluddin) maupun cabang agama (furu'udin). Bahkan, sikap seperti itu perlu demi tercapainya tata kelola pemerintahan yang lebih baik.
Lalu, apakah politik Syiah anti atau tak sesuai dengan nilai-nilai demokrasi? Tentu tidak! Nilai-nilai demokrasi begitu luhur dan sesuai dengan konteks zaman dan nalar publik di zaman modern ini. Oleh karena itu, konsep politik Syiah di zaman modern tak pernah menafikan, apalagi menentang, nilai-nilai demokrasi. Bahkan, di zaman para imamnya pun, walau sistem politiknya teokrasi, namun nilai-nilai yang diterapkan sangat demokratis.
Tentunya, demokrasi -atau nilai-nilai demokratis- yang diterapkan oleh Syiah di zaman modern ini, berbeda -bahkan bertentangan- dengan demokrasi 'cacat' berstandard ganda ala AS dan Eropa yang dinilai sebagai negeri-negeri pelopor demokrasi dan paling demokratis itu. Dalam logika politik Syiah, rakyat berada di sentral sistem politiknya; suara rakyat, suara Tuhan. Nilai-nilai syariat Islam 'pun tak diterapkan tanpa meminta restu dari nalar publik. Oleh karena itu, misalnya, penentuan Iran menjadi "Republik Islam" dengan wilayatul faqih sebagai sistemnya 'pun bukan semata-mata inisiatif Imam Khomaeni (selaku tokoh sentarl Revolusi Islam Iran) yang kemudian dipaksakan pada rakyat Iran kala itu. Namun, sistem politik itu merupakan inisiatif Imam Khomaeni yang kemudian ditawarkan secara demokratis pada rakyat Iran dan terpilih melalui prosedur referendum dengan persetujuan lebih dari 90 % rakyat Iran.
Selain itu, meskipun faqih (dulu Imam Khomaeni, saat ini Imam Ali Khamene'i) merupakan pemegang kekuasaan tertinggi dalam sistem politik wilayatul faqih, namun tetap terdapat dewan yang mengawasinya dan memastikan bahwa ia tetap berada dalam koridor nilai-nilai Islam dan demokrasi (amanat revolusi). Selain itu, sosok faqih hanyalah figur pimpinan tertinggi, namun tata kelola pemerintahan tetap berjalan secara demokratis di bawah komando presiden (saat ini, Presiden Mahmoud Ahmadinejad), dengan pengawasan dari parlemen sesuai dengan kaidah-kaidah demokrasi (eksekutif, legislatif dan yudikatif). Dan, semua itu dipilih berdasarkan prosedur pemilihan umum. Bahkan, kaum minoritas (seperti Zoroaster) dipastikan keterwakilannya di kursi parlemen untuk menjamin hak-hak asasi mereka di sana. Sehingga, tak heran jika kemudian sistem politik Iran itu disebut dengan istilah "teo-demokrasi".
Beda Iran, beda Libanon! Untuk konteks Libanon yang heterogen, selaku salah satu pendiri sekaligus pemimpin spiritual Hizbulah, Fadlullah bahkan menegaskan bahwa konsep politik yang tepat bagi Libanon bukanlah "daulah Islamiyah" (negara Islam), melainkah "daulah insaniyah" (negara manusia atau negara berbasis kemanusiaan). Sebab, menurut Fadlullah, Islam merupakan tata nilai guna menjamin tata kehidupan yang humanis. Sehingga, jika sebuah negara berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan, berarti negara itu telah islami, walau secara formal politik tak Islam. Oleh karena itu, Fadlullah sangat antusias pada terjewantahnya nilai-nilai demokrasi di tanah Libanon.
Akhirnya, penulis mau menutup tulisan ini dengan menegaskan bahwa penulis sepakat dengan tesis integrasi agama (Islam) dan politik. Namun, apalagi untuk konteks Indonesia yang majemuk ini, sebagaimana Libanon, penyatuan agama dan politik tidak dengan pembentukan negara Islam (daulah Islamiyah). Menurut penulis, keterlibatan Islam dalam politik harus ditunjukkan dalam ranah moralitas (politik) yang substansif dan inklusif, bukan simbolik-eksklusif. Keterlibatan Islam dalam politik, dalam wujud konkritnya, ditujukan untuk memastikan tegaknya keadilan dan HAM (menentang tirani sekaligus membela mustadhafin atau kaum tertindas dan marjinal, juga kaum minoritas), menggagas perdamaian dan memastikan kesejahteraan rakyat. Toh, tak begitu perlu label Islam untuk membuat tatanan yang islami. Sebab, pada dasarnya, moralitas (politik) Islam selaras dengan cita-cita dan amanat Pancasila.
Posting Komentar