Kekejaman untuk Kelangsungan Israel |
Laiknya negara-negara penindas di belahan dunia mana pun, Israel melangsungkan keseharian hidupnya lewat penghinaan, degradasi dan teror.Henning Mankell bercerita kepada saya. Novelis Swedia itu mengisahkan tentang pengalamannya 25 tahun lalu di Mozambik, saat kekekejaman perang saudara tengah berlangsung di sana. Suatu hari, katanya, ia dihampiri oleh seorang pemuda yang berpakaian compang-camping. Begitu pandangan mata Mankell jatuh ke bagian bawah sang pemuda tersebut, ia menyaksikan suatu pemandangan yang tak akan pernah ia lupakan seumur hidup: lelaki itu membuat sejenis lukisan berbentuk sepatu di kakinya yang telanjang. "Demi menjaga martabatnya, ia telah menggunakan warna dari bahan tanah dan akar untuk menggantikan sepatunya,"ujar Mankell.
Kisah yang diceritakan Mankell membangkitkan rasa pedih saya yang telah begitu banyak menyaksikan kekejaman dan degradasi di berbagai tempat. Salah satu tempat itu adalah Gaza, yang saya kunjungi untuk pertama kalinya pada Oktober tahun lalu.
Di sana saya menemukan suatu praktek kekerasan dilawan dengan gigih oleh para "samidin" (istilah yang dibuat oleh Raja Shehadeh dalam "The Third Way" untuk mereka yang bertahan dan teguh dengan pendiriannya)
November 2012, saya pulang ke rumah. Begitu saya menginjakan kaki di tanah Amerika, saya disambut oleh sebuah laporan tentang brutalitas serangan Israel di Gaza yang menyedihkannya justru didukung oleh negara saya sendiri dan seperti biasa ditoleransi dengan sopan oleh kawan-kawan Israel di Eropa.
Israel bukanlah satu-satunya musuh bagi orang-orang Gaza. Di perbatasan bagian selatan kota itu, polisi rahasia Mesir yang sangat ditakuti: Mukhabarat melakukan kontrol yang sangat ketat. Konon dalam aksi-aksi telik sandinya itu mereka sangat erat bekerjasama dengan CIA dan Mossad. Apakah ini hanya ilusi ketakutan semata?
Sebulan lalu seorang jurnalis muda di Gaza mengirimkan kepada saya sebuah artikel yang mengungkapkan aksi-aksi serangan terkini pemerintah Mesir pada rakyat Gaza. Di Gaza, ada sebuah jaringan terowongan yang menghubungkan kota itu dengan wilayah Mesir. Bagi rakyat Gaza, terowongan tersebut adalah media satu-satunya untuk terus melangsungkan kehidupan. Dari terowongan itulah, selama ini mereka mengalirkan bahan-bahan kebutuhan sehari-hari dari Mesir yang tak bisa di dapatkan karena blokade ketat militer Israel. Namun tanpa rasa memiliki rasa iba, para Mukhabarat itu lantas memenuhi terowongan tersebut dengan banyak limbah mematikan.
Sementara itu menurut B'Tselem, sebuah kelompok hak asasi manusia di Israel, saya mendapat laporan bahwa militer Israel telah memiliki perangkat baru untuk menghadapi demonstrasi damai mingguan yang diadakan untuk memprotes dibangunnya dinding pemisah ilegal oleh Israel. Rupanya militer Israel paham para Samidin itu sudah memiliki cara cerdas untuk menghadapi gas air mata sehingga cara-cara "tak biasa" (seperti penyemprotan pengunjuk rasa dan rumah dengan zat cair berbahaya berbentuk limbah mentah) pun dilakukan oleh mereka. Inilah bukti bahwa untuk menghancurkan orang-orang tertindas itu, mereka tega menggabungkan tindakan represif pidana dengan penghinaan.
Ingatan saya melayang kembali ke masa lalu ketika pada 1948, ratusan ribu warga Palestina melarikan diri dalam ketakutan atau dipaksa diusir ke Gaza oleh pasukan Israel. Pengusiran tersebut seolah memanifestasikan kata-kata pongah dari David Ben-Gurion (Perdana Menteri Israel saat itu): "Orang-orang Arab yang selama ini tinggal di Tanah Israel hanya memiliki satu pilihan yang tersisa: melarikan diri."
Dan konyolnya situasi puluhan tahun lalu itu, hari ini masih berlangsung. Malah Israel semakin membabi buta. Tentunya semua itu tak akan terjadi tanpa bantuan kuat dari Amerika Serikat, Kanada dan Australia, negara-negara yang saya sebut sebagai Anglosphere (para pendatang yang memaksakan diri menjadi pemukim lewat cara pemusnahan atau pengusiran penduduk asli setempat demi penempatan sebuah ras yang dianggap lebih tinggi). Wajar, alih-alih dikecam, tindakan Israel yang kurang lebih sama dengan apa yang pernah mereka lakukan dahulu, malah dianggap alami dan patut dipuji.
Selama beberapa dekade, Gaza telah menjadi sejenis lahan terbuka untuk setiap praktek kekerasan. Rekornya malah sangat "menakjubkan sekaligus menjijikan" seperti kekejaman diam-diam yang mereka lakukan dalam Operation Cast Lead pada 2008-2009. Operasi ini pada hakikatnya adalah sebuah upaya "pembunuhan para bayi," seperti yang disebut oleh dokter Norwegia Mads Gilbert dan Erik Fosse, yang hingga kini masih bekerja di Rumah Sakit al-Shifa Gaza. Ya, militer Israel dengan sengaja membantai kanak-kanak demi hilangnya sebuah generasi.
Praktek kekerasan selalu hadir dalam berbagai bentuk kekejaman. Di Palestina, kita dipaksa menyaksikan bahwa manusia telah menggunakan kemampuan mental yang lebih tinggi untuk merancang rasa sakit dari keterasingan. Saya melihat rasa sakit dan keterasingan itu hadir sangat mencolok di Gaza, di mana para orang tua tanpa mengindahkan keselamatan mereka pergi melintasi perbatasan menuju tanah dari mana mereka diusir. Ada memang yang bisa kembali, tapi lebih banyak yang terbunuh karena rasa tak kuat menahan beban keterasingan.
*) Aktivis politik anti Zionisme, penulis dan profesor linguistik di Institut Teknologi Massachusetts, Amerika Serikat
Sumber http://www.alternet.org/world/chomsky-cruelty-keeps-empires-alive
Posting Komentar