Agama Menurut Ibn' Arabi
”Semua agama wahyu (sharai’) adalah cahaya. Di antara agama-agama ini, agama yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw adalah seperti cahaya matahari di antara cahaya bintang-bintang lain.Ketika matahari muncul, cahaya bintang-bintang lain akan tersembunyi dan cahaya tercakup dalam cahaya matahari. Ketersembunyian ini adalah seperti pe-nasakh-an agama-agama lain itu melalui (kehadiran) agama yang diwahyukan kepada Muhammad. Sekalipun demikian, agama-agama itu sebenarnya tetap eksis, sebagaimana cahaya-cahaya bintang (tetap) terpancar. Hal ini menjelaskan mengapa dalam agama serba-inklusif kita, kita diwajibkan untuk percaya pada kebenaran semua rasul dan semua agama yang diwahyukan. Semua agama tersebut tidak menjadi batal dengan adanya penghapusan (nasakh) – itu adalah pendapat orang bodoh. Yang benar adalah, berbagai syari’ah itu semuanya bermuara pada syari’ah Nabi. ”
Menurut sang Syaikh, sebelum turun ke alam tajalliy, syari’at adalah tunggal. Baru ketika berada di alam ciptaan, dan terikat oleh zaman, masyarakat, dan lokasi-geografis, ia menjadi beragam sejalan dengan kekhasan misi dan risalah masing-masing nabi.
Pandangan Ibn ‘Arabi tentang posisi Islam di tengah agama-agama lain ini terkait erat dengan gagasannya tentang Nur Muhammadi atau Haqiqah Muhammadiyah, sebagai ciptaan pertama yang mencakup tajalliy sempurna (yang mungkin) dari Allah. Nah keberadaan para Nabi sesungguhnya mengambil bagian dalam Nur Muhammadi ini. Dalam konteks ini, Ibn ‘Arabi memahami bahwa syari’at Muhammad bukanlah hanya penyempurna bagi syari’at-syari’at terdahulu. Yang lebih penting adalah bahwa sesungguhnya keberadaan syari’at-syari’at terdahulu adalah bagian dari upaya merealisasikan syari’at Muhammad, dalam konteks zaman dan masyarakat yang di dalamnya para Nabi, sebelum Muhammad, diutus. Dengan kata lain, syari’at-syari’at terdahulu adalah manifestasi kontekstual dari syari’at Nabi Muhammad, yang disebutnya sebagai “syari’at penuh rahmat”.
Di tempat lain Ibn ’Arabi mengutip sabda Nabi Muhammad saw: “Nabi Isa (Jesus) pun, seandainya turun sekarang ini, niscaya tidak akan mengimami kita kecuali dengan mengikuti sunnah kami, dan tidak akan memutuskan suatu perkara kecuali dengan syari`ah kami.”
Akhirnya, setiap tulisan tentang gagasan Ibn ‘Arabi tentang agama-agama tak akan lengkap tanpa membahas sebuah cuplikan sya’ir Ibn ‘Arabi, yang sering dimaknai sebagai sikap sang Syaikh untuk menyamakan semua agama.
“Hatiku telah mampu menerima aneka bentuk (forma); ia merupakan padang-rumputnya menjangan, biaranya para rahib, rumahnya berhala, ka`bah tempat orang bertawaf, sabaknya Taurat, dan mushafnya al-Qur’an. Agamaku adalah agama cinta, yang kuikuti kemana pun langkahnya; itulah agama dan keimananku:”
Berdasarkan puisi ini, Seyyed Hosein Nasr, misalnya, menyimpulkan bahwa Ibn Arabi “menyadari bahwa syari’at-syari’at yang diturunkan Tuhan adalah menuju ke puncak/tujuan-akhir yang sama.” Pernyataan Nasr bisa dibenarkan dalam makna bahwa semua agama memang memanifestasikan kebenaran, seperti diuraikan di atas. Tapi, adalah Islam yang merupakan perwujudan paling sempurna dan meliputi dari “kemauan” Tuhan di alam pasca tajalliy-Nya. Meski agama-agama lain juga didasarkan pada cinta, tapi adalah Islam yang paling tepat disebut sebagai agama cinta. Selain didukung oleh gagasan umumnya tentang agama-agama, hal ini dipertegas oleh pernyataan Ibn ‘Arabi sendiri dalam dalam Dzakha’ir al-A‘laq (syarah Tarjuman al-Asywaq), bahwa bahwa `agama cinta’ yang ia maksud – melampaui kebenaran agama-agama lain -- ialah agama Nabi Muhammad. Hal ini dipertegas dengan rujukannya kepada firman Allah dalam al-Quran :
“Katakanlah (hai Muhammad), kalau kalian betul-betul mencintai Allah, maka ikutilah aku –niscaya Allah akan mencintai kalian.” (QS. 2 :31)
Posting Komentar