Pengertian Tasawuf
Apa tu Tasawuf? Suatu pagi, setelah shalat jamaah subuh, penglihatan Rasulullah tertumbuk pada seorang anak muda Haritsah bin Malik bin Nu’man Al-Anshari. Kurus dan pucat, kedua matanya sembap, dia tampak seperti linglung dan tak bisa tetap berdiri. “Bagaimana keadaanmu?” Tanya Rasulullah. “Saya telah sampai pada keimanan tertentu,” si anak muda menyahut. “Apakah tanda-tanda keimananmu?” Nabi bertanya lagi. Anak muda itu menjawab “bahwa keimanannya telah menenggelamkannya ke dalam kesedihan.” Hal itu telah membuatnya tak bisa tidur di malam hari (untuk beribadah) dan dahaga di siang hari (dalam berpuasa). Keadaan itu juga telah sepenuhnya menceraikannya dari dunia ini dan segala urusannya sedemikian, sehingga seolah-olah dia dapat melihat ‘Arasy Allah telah ditegakkan untuk memulai perhitungan atas (amal-amal) umat manusia, dan bahwa ia bersama seluruh manusia telah dibangkitkan dari kematian. Dikatakannya pula bahwa pada saat itu pun ia merasa dapat melihat para ahli surga menikmati karunia-karunia Allah, dan para ahli neraka menderita siksaan-siksaannya dan bahwa ia dapat mendengar gemuruh jilatan apinya. Mendengar itu Nabi menoleh kepada para sahabatnya seraya berkata, “Ini adalah seseorang yang hatinya telah disinari dengan cahaya keimanan oleh Allah.” Lalu Nabi pun berkata kepada si anak muda, “Pertahankan keadaanmu ini, dan jangan biarkan ia lepas darimu.” “Berdoalah bagiku,” sahut si anak muda, “agar Allah mengaruniaiku dengan syahadah.”Syahdan, tak lama setelah pertemuan itu, sebuah peperangan meletus, dan si anak muda ikut serta. Dia mendapatkan syahadah yang didambakannya.
Hadis di atas seringkali dikutip orang sebagai salah satu petunjuk mengenai tradisi tasawuf di zaman Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam. Muhammad Iqbal, pujangga Muslim dari Anak-Benua India itu, malah menyebutnya sebagai semacam penelitian yang dilakukan oleh sang Nabi atas gejala psikologis tepatnya gejala spiritual yang belakangan lebih dikenal sebagai gejala sufistik itu. Kisah di atas sekaligus bisa menjadi ilustrasi bagi pemahaman makna ihsân yang dianggap sebagai dasar penghayatan kesufian dan, bersama iman dan Islam, membangun trilogi kelengkapan prinsip-prinsip agama Islam. Seperti telah banyak diketahui, terungkap dalam hadis masyhur yang lain bahwa lewat Jibril Al-Amin, para sahabat telah diajar makna ihsân sebagai “(suatu situasi yang di dalamnya seseorang) beribadah dalam keadaan seolah-olah ia melihat Allah atau, kalau pun tak dapat melihat-Nya, ia yakin bahwa Allah Melihatnya.”
Lalu apa itu Pengertian Tasawuf?
Amat banyak rujukan disampaikan oleh para ahli terhadap asal-muasal istilah tasawuf ini. Dalam berbagai buku teks tasawuf, kata ini biasanya dirujukkan kepada beberapa kata dasar. Termasuk di dalamnya shaff (baris, dalam shalat) karena dianggap kaum sufi berada dalam shaff pertama. Atau shûf, yakni bahan wol atau bulu domba kasar yang biasa mencirikan pakaian kaum sufi. Atau juga ahl al-shuffah, yakni para zâhid (pezuhud) dan ‘âbid (ahli ibadah) yang tak punya rumah dan tinggal di serambi masjid Nabi. Ada juga yang mengaitkannya dengan nama sebuah suku Badui yang memiliki gaya hidup sederhana, yakni Bani Shufa. Meski jarang, sebagian yang lain mengaitkan asal-muasal istilah ini dengan sophon, atau sufa, atau sufin, yang bermakna pelayanan kegerejaan (kerahiban). Jabir bin Hayyan seorang alkemis yang disebut-sebut sebagai murid Imam Ja‘far Shadiq dikatakan mengaitkan istilah ini dengan shufâ’, yang bermakna penyucian sulfur merah.
Di dalam berbagai buku tasawuf, menurut Abdul Qadir Al-Suhrawardi, ada lebih dari seribu definisi istilah ini. Tapi, pada umumnya, berbagai definisi itu mencakup atau mengandung makna shafâ’ (suci), wara‘ (kehati-hatian ekstra untuk tidak melanggar batas-batas agama), dan ma‘rifah (pengetahuan ketuhanan atau tentang hakikat segala sesuatu). Tapi, kepada apa pun dirujukkan, semua sepakat bahwa kata ini terkait dengan akar shafâ’ yang berarti suci. Pada gilirannya, ia akan bermuara pada ajaran Al-Quran tentang penyucian hati.Demi nafs dan penyempurnaan (penciptaan)-nya … Telah berjayalah orang-orang yang menyucikannya. Dan telah gagallah orang-orang yang mengotorinya. (QS Al-Syams [91]: 7-10)Kata menyucikan (zakkâ) yang dipakai ayat di atas berasal dari akar kata yang juga membentuk salah satu ungkapan-kunci tasawuf, yaitu tazkiyah al-nafs (penyucian jiwa). Lebih jauh dari itu, dalam kosa kata tasawuf istilah ini biasa disinonimkan dengan tashfiyah lagi sebuah kata benda bentukan (mashdar) dari akar-kata shafâ’.
Dengan demikian, pada dasarnya tasawuf adalah upaya para ahlinya untuk mengembangkan semacam disiplin (riyâdhah) spiritual, psikologis, keilmuan dan jasmaniah yang dipercayai mampu mendukung proses penyucian jiwa atau hati sebagaimana diperintahkan dalam Kitab Suci tersebut.
Kiranya ini semua didukung oleh hadis Nabi yang amat populer yang berbunyi: “Di dalam diri manusia ada segumpal organ. Jika baik organ tersebut, maka baiklah semua diri orang itu. Dan jika buruk organ itu, akan buruklah semua diri orang yang memilikinya. Organ tersebut adalah hati.” Nabi kemudian diriwayatkan menyatakan: “Jika seorang Mukmin melakukan keburukan, maka muncullah satu titik hitam dalam hatinya. Jika ia terus-menerus melakukan keburukan, maka makin banyak titik hitam yang melekat di hatinya.” Jika sudah demikian, dapat diduga bahwa pada akhirnya hati orang seperti ini akan sepenuhnya tertutupi dengan lapisan hitam, yang akan menghalanginya dari mendapatkan cahaya Allah Swt. yang sesungguhnya selalu siap menyinari hati setiap manusia. Maka, sebaliknya dari menjadi hati nurani (hati yang bersinar), hati orang seperti ini bagaikan berkarat dan dikuasai oleh penyakit. Tasawuf, sebagaimana dikatakan di atas, adalah suatu upaya suatu metode, disiplin untuk menaklukkan al-nafs al-ammârah bi al-sû’ (nafsu yang mendorong-dorong untuk melakukan keburukan) agar kita terhindar dari keadaan hati yang berdaki seperti itu. [INDONESIAKU ISLAM]
Posting Komentar