Saudi dan Ironi Penghancuran Makam |
Pembangunan Abraj al-Bait merupakan puncak dari apa yang dilakukan Arab Saudi selama 50 tahun terakhir, yakni "komersialisasi Baitullah". Dalam kurun waktu itu juga, mereka telah meruntuhkan sekitar 300 bangunan Islam bersejarah, termasuk yang bersinggungan langsung dengan Nabi. Sederet tanah makam ditiadakan dan diganti menjadi lapangan parkir. Alhasil, sejarah dan sakralitas Makkah (Arab Saudi), yang justru menjadi kekuatan kota dan negeri itu, dibuldoser dan digantikan dengan berbagai pernak-pernik bangunan khas kapitalisme. Dan, tentu, itu bukan lagi sekedar untuk memenuhi kebutuhan dan kenyamanan jamaah haji. Namun, itu benar-benar soal komersialisasi dan hedonisme.
Kapitalisasi memang sebuah kenyataan di negeri bersejarah itu. Namun, kapitalisasi tak mungkin bisa menyentuh, apalagi mengobrak-abrik, nilai-nilai sejarah dan sakralitas agama (Islam) tanpa ada legitimasi doktrinil. Dan, seperti dikemukakan Sami Angawy (pendiri Pusat Penelitian Ibadah Haji di Jeddah), komersialisasi Baitullah oleh kapitalisme itu berkelindan dengan Wahabisme. Inilah babak baru ketika paham yang seolah mengusung tema ajaran kesederhanaan ala Nabi itu 'bermesraan' dengan tangan kapitalisme yang hedonis. Dan, memang, pada dasarnya mereka bersikap antipati, bahkan menuduh bid'ah (mengada-ada) ritual simbolik semacam ziarah kubur, dll. Itulah yang kemudian menjadi legitimasinya. Dan, yang menjadi ironi sekaligus paradoks internal dalam tubuh Wahabisme di Arab Saudi, yakni mereka justru mendapatkan penghidupan secara ekonomi dari sesuatu yang mereka anggap mati dan alih-alih bisa menghidupkan; kapitalisasi makam.
Kemudian, yang juga menjadi ironi dari Abraj al-Bait karena gedung itu memiliki menara waktu. Bahkan menjadi menara waktu terjangkung, mengalahkan Big Ben yang tersohor di Londong itu. Konon, sejak awal, menara itu memang diniatkan untuk menjadi kiblat waktu bagi umat Islam seluruh dunia. Ironi karena itu dibangun dan berdiri di negara yang menjadi kawasan lahir, besar, berkembang dan titik penyebaran Wahabisme, yang sejak awal menjadi paham yang anti-waktu (dalam wujud kemodernan maupun sebaliknya) yakni dalam wujud kekunoan (tradisi).
Kini, legitimasi Wahabisme itu menyebar ke Suriah dan juga Jordania. Wahabisme berkelindan dengan kekuatan politik pemberontak di Suriah. Beberapa waktu yang lalu, persekongkolan itu menghadirkan episode mengerikan tentang penggalian makam salah satu sahabat Nabi Muhammad yang bernama Hujr Ibn Adi. Tak cukup itu, mereka bahkan membawa jasad yang konon masih utuh, sebagai bentuk pelecehan. Dua hari setelahnya, mereka melakukan pelecehan terhadap makam Sayyidina Ja'far At-Thayyar (saudara Sayyidina Ali Bin Abi Thalib) di selatan Yordania. Mereka melakukan pembakaran atas makam suci itu. Selain itu, saat ini mereka juga mengancam akan melakukan penyerangan dan pengrusakan sebagai bentuk pelecehan terhadap makam salah satu wanita mulia dalam sejarah Islam, Sayyidah Zainab, yang terletak di Damaskus, Suriah.
Bagi kita (umat Islam pada umumnya, baik Sunni maupun Syiah), merujuk pada Qur'an di QS. Al Baqarah: 154 dan juga di Ali Imran: 169, orang-orang mulia -apalagi sahabat Nabi Muhammad- itu tak pernah 'mati' (mati dalam pengertian sejati). Meskipun mereka telah tak bernyawa dan dikuburkan selama ratusan, bahkan ribuan tahun. Mereka 'hidup' dalam keabadian di sisi Allah. Mereka bahkan 'menghidupkan' (memberikan kehidupan dalam pengertian sejati) kita yang bernyawa ini. Mereka menjadi jembatan dalam relasi antara kita dan Allah. Karenanya, mereka patut diziarahi. Bukan sekadar hanya untuk mendoakan mereka. Tapi juga untuk kita sendiri, dengan menjadikan mereka sebagai perantara (wasilah) bagi kita dalam berkomunikasi dan berhubungan dengan-Nya. Karenanya, ancaman pelecehan terhadapnya akan bisa berdampak serius secara politik, bahkan militer. Dan, menurut penulis, menjadi ironi sekaligus paradoks internal dalam Wahabisme yakni mereka melakukan provokasi politik justru dari sesuatu yang menurut mereka mati (tak 'hidup', seperti dalam perspektif Sunni dan Syiah). Mereka seolah percaya bahwa makam memang 'hidup', sehingga bisa digunakan sebagai alat provokasi politik. Karenanya, mereka melakukan politisasi terhadap makam, dengan melecehkannya.
Pada akhirnya, menurut penulis, selain simbolisasi dari paradoks internal dalam paradigma Wahabisme, politisasi atas makam yang mulai dimainkan dalam konstelasi politik di Suriah secara tak langsung mengindikasikan bahwa, pertama, yang terjadi di Suriah memang bukanlah gerakan revolusi yang pada dasarnya bernilai positif sebagai gerakan perubahan ke arah yang lebih baik, melainkan sebuah gerakan pemberontakan destruktif yang mengarah pada pembentukan kekacauan dan status quo di Suriah. Kedua, politisasi makam merupakan simbol kebuntuan strategi politik dan bahkan militer kalangan pemberontak serta elemen-elemen asing yang menungganginya, khususnya Wahabisme Arab Saudi dan juga Amerika Serikat (AS) bersama sekutunya. Sehingga, mereka tertuntut untuk melakukan politisasi agama (Islam) dengan melakukan pelecehan terhadap makam guna menggiring terbentuknya kekacauan dan status quo di Suriah.
Saya melihat situasi ini menjadikan gerakan pemberontakan yang terjadi di Suriah kini bukan lagi mengancam rezim Assad di Suriah, tapi juga otoritas suci Islam sebagai agama. Oleh karena itu, sebagaimana disampaikan Nasrullah sebagai representasi Hizbullah, jika penodaan agama (Islam) menjadi alat politisasi di Suriah, para pemberontak Suriah secara tak langsung menyatakan perang pada umat Islam dunia, bukan lagi otoritas Assad di Suriah. Sebab, mereka telah menodai simbol suci Islam.
Posting Komentar