Info
|
Profil G+ Profil Facebook Profil twitter
Home » » Untung Rugi Normalisasi Israel dengan Turki

Untung Rugi Normalisasi Israel dengan Turki

Written By xxxxx on Rabu, 15 Mei 2013 | 14.58

Untung-Rugi Normalisasi Israel dengan Turki [Indonesiaku Islam] - TERKESAN tergesa-gesa, delegasi Israel akan segera berangkat ke Turki untuk membahas ganti rugi keluarga para korban kapal kemanusiaan Mavi Marmara yang berusaha menerobos blokade menuju Gaza pada bulan Mei 2010. Bila tidak ada perkembangan lain, dijadwalkan delegasi tersebut berangkat pada 12 April ini, atau sekitar tiga pekan setelah permintaan maaf PM Benjamin Netanyahu kepada PM Turki, Recep Tayyip Erdogan.
Untung Rugi Normalisasi Israel dengan Turki
Israel kelihatannya yang lebih proaktif untuk segera menormalisasikan hubungannya dengan Turki sebab apabila hanya untuk membahas ganti rugi, tidak mesti harus dengan kunjungan delegasi yang demikian cepat. Meskipun Erdogan menerima permintaan maaf tersebut, namun dengan sejumlah syarat termasuk menghentikan (sebagian sumber menyebutkan meringankan) embargo atas Gaza.

Belum ada kejelasan apabila syarat terakhir ini akan diterima pemerintah Israel karena tidak ada tanda-tanda negeri Zionis itu siap mencabut embargo atas Gaza yang menjadi basis terkuat perjuangan bersenjata faksi-faksi perlawanan Palestina saat ini. Pemerintahan Erdogan, juga kelihatannya akan tetap menunggu komitmen Netanyahu, agar permintaan maaf tidak hanya sebatas di mulut sebelum hubungan kedua negara kembali normal seperti sebelum insiden kapal kemanusiaan itu.

Paling tidak Erdogan sangat mengerti prilaku negeri Zionis itu yang sering melanggar kesepakatan yang telah tercapai terutama bila bercermin pada berbagai kesepakatan yang dicapai dengan Palestina. Mungkin contoh yang paling kini adalah pelanggaran atas kesepakatan gencatan senjata di Gaza yang ditengahi Mesir pada bulan November tahun lalu.

Pada 2 April lalu, dilaporkan pesawat tempur negeri Zionis itu melakukan serangan dua kali atas Gaza dan mengancam akan melanjutkan serangannya sebagai upaya untuk mengalihkan perhatian warga Palestina dan masyarakat internasional terhadap nasib para tahanan Palestina di penjara-penjara Israel. Kondisi para tahanan sangat menyedihkan, dan kembali mencuat ke permukaan dengan meninggalnya tahanan wanita Palestina, Maisarah Abu Hamdiah Selasa (02/04/2013) di Tepi Barat.

Israel menganggap kemarahan warga Palestina atas kondisi tahanan sebagai eskalasi dan memperingatkan Palestina agar tidak menjadikan kematian tahanan tersebut sebagai alasan untuk meningkatkan eskalasi. Padahal yang melakukan eskalasi dengan memanfaatkan kasus kematian tahanan tersebut adalah Israel sendiri dengan menyerang Gaza dan dikhawatirkan kasus ini akan dimanfaatkannya untuk menggagalkan gencatan senjata yang disponsori Mesir itu.

Bila melihat contoh lama seperti Persetujuan Oslo 1993, negeri Zionis itu tidak cukup hanya melanggar kesepakatan, akan tetapi menambah jumlah pemukiman Yahudi lebih dari 600 ribu orang di Tepi Barat termasuk 200 ribu di kota Al-Quds. Karena itu, sejumlah pengamat Arab melihat, “bulan madu” Israel Turki pasca permintaan maaf Netanyahu besar kemungkinan tidak berlangsung lama.

Normalisasi ini lebih dikaitkan dengan kepentingan sesaat kedua negara dan bagi Turki khususnya selain tidak menginginkan hubungan erat ini berlangsung lama, juga karena merasa yakin bahwa Israel sulit melaksanakan komitmennya,” papar sejumlah analis Arab. Kepentingan sesaat dimaksud adalah situasi kawasan yang masih memanas sehubungan dengan krisis Suriah yang belum kunjung berakhir.

Meskipun sejauh ini, Ankara selalu membantah, bila normalisasi tersebut dikaitkan dengan perkembangan situasi kawasan, namun logikanya memang demikian. Upaya intensif AS untuk tercapainya normalisasi tersebut sebagai bukti negeri adidaya itu menginginkan terciptanya koordinasi keamanan dan militer antara Israel dan Turki untuk mengantisipasi kemungkinan terburuk menyangkut krisis Suriah dan isu nuklir Iran.

Belum dapat dipastikan sejauh mana pemerintah Turki akan merespon keinginan AS tersebut dan sebesar apa koordinasi yang diharapkan. Yang sudah pasti adalah, Ankara bersikap ekstra hati-hati dengan berbagai persyaratan “rekonsiliasi” tersebut, sebab normalisasi ini, lebih diperuntukkan bagi kepentingan Israel terutama untuk jangka pendek mendatang.

Memperkokoh keamanan

Memang secara kasat mata, seolah-olah, permintaan maaf Netanyahu itu adalah "kemenangan" besar bagi Turki dan perlawanan Palestina sebab saudara-saudara kita di Palestina terutama di Gaza akan segera bisa bernafas lega dari lilitan embargo. Pasalnya, salah satu syarat diterimanya permintaan maaf itu oleh Turki sebagaimana disebutkan sebelumnya, adalah menghentikan atau meringankan embargo atas Gaza.

Banyak kalangan di dunia Arab, Palestina khususnya, menilai sikap PM Israel itu sebagai kemenangan bagi Turki dan perlawanan Palestina yang ditandai pula dengan pengumuman di Gaza tentang rencana kedatangan PM Erdogan ke wilayah itu dalam waktu dekat. Penilaian sederhana memang demikian, namun bila didalami, tidak ada kaitannya dengan “kemenangan” perlawanan Palestina.

Bila diteliti lebih mendalam, rujuk tersebut lebih menguntungkan negeri Zionis tersebut sebab normalisasi berarti kembalinya kerjasama militer, keamanan dan intelijen kedua negara. Dengan demikian, wilayah udara Turki kembali terbuka bagi pesawat-pesawat tempur dan mata-mata Israel untuk melakukan latihan dan aksi spionase terhadap negara-negara kawasan terutama di Suriah, Iraq dan Iran demi memperkokoh keamanan negeri Yahudi itu.

Bagi mereka yang terlalu optimis bahwa permintaan maaf Israel tersebut sebagai pertanda kemenangan perlawanan Palestina bisa jadi keliru sebab pihak yang diuntungkan secara faktual adalah Israel. Negeri ini akan memanfaatkan kembali hubungan normal dengan Turki untuk kepentingan keamanannya sendiri meskipun nantinya ia benar bersedia meringankan embargo atas Gaza,” papar sejumlah analis Arab.

Apa yang disampaikan sejumlah analis itu, nampaknya merujuk kepada pengalaman-pengalaman sebelumnya yang mana negeri itu selalu melakukan langkah yang sudah diperhitungkan keuntungannya. Standar penghitungan adalah keamanan dan kelanjutan memperluas pemukiman Yahudi di Palestina sehingga apabila standar tersebut tidak terpenuhi tak segan-segan melanggar kesepakatan secara sepihak.

Selain itu, Netanyahu berkepentingan untuk menunjukkan bahwa permintaan maaf ini seolah-olah sebagai buah mediasi Presiden Barack Obama untuk memperkuat dukungan Kongres AS terhadap kebijakannya di masa mendatang.

"Netanyahu dan negaranya berkepentingan untuk meminta maaf kepada Turki di tengah situasi kawasan saat ini, tapi sengaja dipoles seolah-olah hasil mediasi Obama dengan target akan mendapat dukungan lebih kuat dari Kongres atas kebijakannya nanti," ulas sejumlah pengamat Arab.

Secara politis pun, Netanyahu masih belum menyebutkan secara rinci "kesalahan-kesalahan" yang dilakukannya terkait kasus serangan atas kapal kemanusiaan Turki itu. Apakah dia akan menyampaikan kesalahannya hanya sebatas pembunuhan atas warga Turki di atas kapal Mavi Marmara, atau kesalahan menghadang dan menyerang kapal tersebut, dan mungkin juga kesalahan melakukan embargo berkelanjutan atas warga Gaza atau ketiga-tiganya.

Paling tidak publik Arab khususnya dan dunia Islam pada umumnya masih menunggu implementasi dari permintaan maaf tersebut sebagaimana juga yang dijanjikan oleh PM Erdogan. “Tidak mungkin normalisasi antara Turki dan Israel dilaksanakan sebelum Ankara melihat aksi nyata Israel," antara lain pernyataan Erdogan setelah menerima permintaan maaf Netanyahu.

Sebelum-sebelumnya, Erdogan juga kerap kali mengingatkan agar negeri Zionis itu segera menghentikan embargo atas Jalur Gaza dan penghentian embargo ini sebagai syarat normalisasi hubungan kedua negara. "Saya secara pribadi ingin tepuk tangan buat tuan Erdogan, tapi saya tunda dulu hingga kapal kemanusiaan Turki kembali berlabuh ke Gaza membawa bantuan dengan selamat tanpa halangan," tulis Jawad al-Bashiti, seorang pengamat dalam artikelnya di sebuah media Arab, Jum`at (05/04/2013).

Yang jelas, kunjungan Obama ke kawasan akhir bulan lalu meliputi Israel, Palestina dan Yordania telah berhasil memoles kembali citra Netanyahu di mata masyarakat internasional (Barat) sehingga seolah-olah dia kembali sebagai pemenang. Setidaknya PM Erdogan lebih mafhum akan trik pemimpin negeri Zionis itu sehingga tidak akan membiarkan permintaan maaf ini dimanfaatkan sebagai sarana mencapai kemenangan baru, sudah saatnya untuk merasakan kekalahan.

Bila melihat percaya diri Turki dewasa ini seperti dinyatakan oleh Menlu Ahmet Davutglu belum lama ini "Turki tidak pernah berpikir lagi atas kerugian yang dideritanya bila memutuskan hubungan dengan negara tertentu, akan tetapi negara lain yang berpikir kerugian akibat memutus hubungan dengan Turki", maka Israel kelihatannya tidak bisa lagi seenaknya "memainkan" negeri bekas pusat Khilafah Othmaniyah itu. Bila melihat pengalaman berbagai pelanggaran kesepakatan yang dilakukan Israel sebelumnya, tidak berlebihan bila dikatakan bahwa "bulan" madu kedua negara tidak akan berlangsung lama.
Share this post :

Posting Komentar