Penistaan terhadap Rasulullah SAW seakan tiada hentinya. Kasus demi kasus bermunculan silih berganti.
Di Belanda, ada film berbau SARA yang merendahkan ajaran Islam beserta Muhammad dengan judul “Fitna”, begitu juga kasus kartun Nabi di Denmark.
Paling anyar, tentunya ialah penghinaan Rasulullah yang dilakukan oleh Sam Bacile, lewat film kelas teri, “The Innocence of Muslims”.
Kasus terakhir ini terbilang paling heboh. Bukan karena kualitas filmnya, melainkan dampak yang diakibatkan setelah diunggahnya film tersebut di Youtube dan media sosial lainnya. Aksi protes meledak di berbagai belahan dunia.
Tak ada jaminan, tindakan serupa tidak terulang pada kemudian hari. Ini lantaran tidak ada peraturan dan kesepakatan internasional soal kejahatan menghina Rasulullah atau simbol-simbol agama yang disucikan. Rentetan kejadian ini menarik perhatian sejenak untuk menengok polemik penghinaan Rasulullah di era klasik.
Prof Hasan As-Sayyid Hamid Khitab, melalui makalahnya yang berjudul “Jarimat Sub An-Nabi Muhammad SAW wa Uqubatuha Bain Al-Fiqh Al-Islami wa Al-Qanun Ad- Dauli”, memaparkan persoalan ini secara terperinci dan penyikapan para ulama salaf.
Mereka sepakat satu hal, yaitu bila pelaku adalah Muslim, ia bisa dinyatakan murtad dan mesti dibunuh. Pendapat ini adalah pernyataan para ulama, seperti Abu Hanifah, Malik bin Anas, Laits, Ahmad, Syafi’i, dan Ishaq. Konsensus ini ditegaskan oleh Abu Bakar ibn Al-Mudzir dan Abu Sulaiman Al-Khutabi.
Kesepakatan ini dilandasi dasar dan argumentasi yang kuat. Larangan untuk menyudutkan Rasulullah itu tertuang, antara lain, dalam ayat 57 Surah Al-Ahzab, Adz-Dzariyaat ayat ke-10, dan Al-Munafiquun ayat 4.
Ini diperkuat dengan hadis-hadis Rasulullah yang melarang cacian dan ejekan terhadapnya. Misalnya saja, riwayat Al-Hakim yang mengisahkan tentang perintah membunuh Ka’ab bin Al-Asyraf.
Instruksi itu menyusul ejekan dan hinaannya terhadap Rasulullah. Kasus dan sanksi serupa juga dijatuhkan terhadap pelaku penistaan ketika peristiwa penaklukan Makkah. Kisah ini seperti dinukilkan oleh Bukhari dan Muslim.
Pemberlakuan hukuman mati bagi pelaku penistaan juga berlangsung pada masa kekhalifahan. Suatu saat, Harun Ar-Rasyid meminta fatwa ke Imam Malik bin Anas yang berada di Tanah Hijaz, Madinah, perihal sanksi bagi seseorang yang telah mencaci Rasulullah.
Sang Khalifah menceritakan para ahli fikih di Irak memberi fatwa, yaitu pelaku hanya dijatuhi hukuman cambuk. Tak elak, pendapat ini menyulut kemarahan Imam Malik.
Menurut dia, siapa pun yang menghina Rasulullah maka harus dibunuh. Sedangkan mereka yang merendahkan sahabat cukup dicambuk. “Wahai pemimpin Mukminin, apa jadinya umat bila Nabi mereka sendiri telah dihina?”
Sikap tegas terhadap para penista Nabi ditunjukkan pula oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Ketegasan itu bisa dilihat dari jawaban atas pertanyaan yang dilayangkan oleh pejabat pemerintah di Kufah.
Ketika itu, bawahannya menanyakan hukum mereka yang telah mencaci Umar bin Khatab. Khalifah Umar bin Abdul Aziz menjawab, haram hukumnya membunuh sesama Muslim yang mencaci seseorang, kecuali bila yang dihina Rasulullah. “Jika demikian, halal darahnya,” katanya.
Tidak Gugur
Muncul pertanyaan, bagaimana bila pelaku bertobat setelah perbuatannya itu? Apakah tobatnya akan diterima lantas menggugurkan sanksi di dunia?Guru Besar Adab di Universitas Manovea, Mesir, ini mengatakan ulama sepakat, tobat nasuha akan bermanfaat baginya kelak di akhirat. Tetapi, apakah kemudian menghindarkannya dari hukuman mati?
Para ulama berbeda pendapat. Menurut mayoritas ulama dari Mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hanbali, tobatnya tersebut tidak berpengaruh apa pun pada sanksi di dunia.
Ia tetap harus menjalani hukuman mati. Mereka beranggapan, sebagaimana hukuman lain di dunia, maka sanksi itu tak lantas otomatis gugur dengan tobat pelaku.
Sedangkan kelompok yang kedua berpandangan, mereka yang telah menghina Rasulullah dari kalangan Muslim lalu bertobat dengan sebenar-benar tobat maka sanksi itu gugur.
Ia tak perlu dibunuh. Opsi ini disuarakan oleh Mazhab Hanafi, Syafi’i di salah satu riwayat pendapatnya yang lemah, dan sebagian kecil Mazhab Hanbali.
Mereka berasumsi, bila seorang non-Muslim menistakan Rasulullah, lalu ia masuk Islam dan bertobat saja mendapat dispensasi tidak dibunuh, tentunya ketentuan yang sama pantas berlaku bagi seorang Muslim yang bertobat.
Kasus penghinaan Rasulullah SAW kerap terjadi di negara-negara Barat dan tentunya oleh pelaku yang didominasi dari kalangan non-Muslim.
Islam memberikan sanksi tegas bagi Muslim yang menghina simbol kesucian agama-dalam konteks ini ialah melecehkan Nabi.
Bila terbukti dan ada unsur kesengajaan, maka ia harus menanggung akibatnya berupa hukuman mati. Bagaimana jika penghina ialah non-Muslim? Apakah akan diperlakukan sama?
Prof Hasan As-Sayyid Hamid Khitab melalui makalahnya yang berjudul “Jarimat Sub an-Nabi Muhammad SAW wa Uqubatuha Bain al-Fiqh al-Islami wa al-Qanun ad-Dauli” mengupas hukum penistaan terhadap Nabi oleh non-Muslim.
Istilah yang ia gunakan untuk kelompok ini lebih terperinci, yaitu ahlu ad-dzimmah (Nasrani dan Yahudi) atau golongan lainnya yang berdomisili di wilayah Islam.
Para ulama sepakat, non-Muslim yang menghina Rasulullah harus dihukum. Namun, hukuman seperti apa yang mesti dijatuhkan kepada pelaku? Mereka berselisih pandang. Ada dua pendapat ulama menyikapi kasus ini.
Kelompok yang pertama menyatakan pelecehan terhadap Nabi, apa pun itu bentuknya, entah menghina kehormatan, merendahkan kemuliaan, atau mendiskreditkan sosok Rasulullah, maka yang bersangkutan pantas dibunuh. Alasannya cukup jelas, melecehkan Rasulullah tidak termasuk nota kesepakatan dan kesepahaman tanggungan (dzimmah).
Imam Al-Jashsash dari Mazhab Hanafi mengatakan, bila Muslim melecehkan Nabinya, maka ia tidak diampuni dan wajib dibunuh. Hukuman serupa laik diterima oleh non-Muslim, seperti Yahudi dan Nasrani.
Menurut Imam Syafi’i, orang kafir yang telah merendahkan Alquran dan Muhammad SAW, maka ia dianggap telah merusak kesepakatan bersama dan halal darahnya.
Tak ada lagi tanggung jawab sebagai warga yang berhak atas perlindungan. Mereka berargumen dengan beberapa dalil, antara lain ayat 12 Surah at-Taubah:
“Jika mereka merusak sumpah (janji)nya sesudah mereka berjanji, dan mereka mencerca agamamu, maka perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang kafir itu, karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang (yang tidak dapat dipegang) janjinya, agar supaya mereka berhenti.”
Sebuah riwayat dari Ali bin Abi Thalib dalam Sunan Abu Daud juga menguatkan pendapat ini. Ketika itu, seorang perempuan mencaci maki Rasulullah.
Seorang sahabat tidak bisa menerima perlakuan keji itu, lalu ia pun mencekik leher pelaku hingga mati. Instruksi untuk membunuh Ka’ab bin Al-Asyraf dalam Sunan An-Nasai, termasuk dalil utama kalangan ini.
Abdullah bin Umar pernah mendapat laporan tentang seorang pendeta yang menghujat Nabi. Ibn Umar mengatakan, seandainya ia mendengar langsung hujatan tersebut maka ia akan membunuhnya. Karena, perjanjian perlindungan dan perdamaian yang disepakati bukan untuk melecehkan Rasulullah.
Pendapat yang kedua menegaskan bahwa para penghina Rasulullah dari non-Muslim tidak perlu dibunuh karena penyekutuan atas Tuhan sudah cukup memiliki dampak hukum yang besar. Kubu ini berpendapat, mereka hanya perlu dijebloskan ke penjara atau diasingkan.
Pandangan ini merupakan representasi dari Abu Hanifah, At-Tsauri, dan pengikut keduanya dari para ahli fikih asal Kufah.
Argumentasi mereka ialah hadis riwayat Bukhari dari Aisyah. Riwayat itu mengisahkan, Rasulullah tidak bersikap keras atas cacian Yahudi. Ini terjadi pada peristiwa keberadaan racun dalam makanan.
Rasulullah, seperti dinukilkan dari Anas bin Malik, menolak membunuh perempuan Yahudi yang menghidangkan kambing beracun.
Syahadat Prof Hasan memaparkan sebuah jawaban atas persoalan, yakni apakah sanksi tersebut akan gugur secara otomatis bila pelaku menyatakan masuk Islam?
Ia menjawab, terjadi silang pendapat antar ulama. Menurut kelompok yang pertama, hukuman tersebut batal dengan sendirinya jika si pelaku menyatakan memeluk Islam.
Ini disuarakan oleh Mazhab Hanafi dan riwayat populer dari Mazhab Maliki, Mazhab Syafi’i, Hanbali, dan dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah.
Lanjutan pernyataan Abdullah bin Umar di atas menambahkan, bila penghina bersyahadat maka ia tidak dibunuh. Ini sesuai juga dengan seruan ayat 38 Surah Al-Anfal:
“Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu, ‘Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu; dan jika mereka kembali lagi sesungguhnya akan berlaku (kepada mereka) sunah (Allah terhadap) orang-orang dahulu’.”
Sedangkan, pendapat yang kedua mengatakan, Islamnya pelaku tidak menggugurkan sanksi. Bila Muslim menistakan Nabinya saja dihukum mati, apalagi ini non-Muslim.
Keislamannya pun tak berpengaruh apa pun. Pandangan ini merupakan aspirasi bagian kecil Mazhab Maliki dan Hanbali.
Diskusi perihal penistaan Rasulullah dalam fikih klasik menjadi rujukan penting bagi sejumlah lembaga fatwa negara-negara Islam di era modern. Berbagai institusi fatwa resmi tersebut merujuk keputusan mereka ke ragam fatwa yang terdapat di banyak literatur.
Kesimpulan sama persis berkaitan dengan penghina Rasulullah dengan ketentuan serupa diadopsi, antara lain oleh Komite Fatwa Kerajaan Arab Saudi, Komite Syariat Dai dan Ulama Sudan, Lembaga Fatwa, Mesir, serta Dewan Fatwa Tertinggi Irak.
Posting Komentar