Awas! Generasi Neo-Sophist Makin Marak |
Kutipan diatas hanyalah salah satu contoh dari beberapa tulisan yang sarat dengan dengan pemikiran sufastha’iyyah atau sophisme, yaitu faham yang menolak kebenaran absolut dan menganggap setiap pendapat sama benarnya karena semuanya bersifat relatif atau nisbi.
Keraguan yang berlebihan tanpa diiringi pemahaman dan ilmu yang memadai menjadikan si penulis hilang arah dan pupus imannya pada agama. Ia juga salah dalam menempatkan ayat tersebut (QS. Yusuf: 67).
Sesungguhnya ini bukan ayat pluralisme agama, tetapi menceritakan perintah Nabi Yaʿkub as. kepada anak-anaknya agar memasuki kota Mesir melalui pintu yang berbeda, karena beliau khawatir terhadap keselamatan anak-anaknya yang mempunyai paras yang indah dari gangguan orang-orang jahat sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu ʿAbbas, Muhammad ibnu Kaʿab, Mujahid dan Qatadah yang dikutip oleh Ibn Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya.Salah tafsir semacam ini juga kita jumpai dalam argumentasi guru dari si murid mengenai ‘ayat pluralisme’ yakni al-Baqarah ayat 62 dan al-Ma’idah ayat 69. Konon katanya keselamatan di akhirat kelak bukanlah milik umat Islam semata, Yahudi, Nashrani dan Sabi’in juga berhak mendapatkan keselamatan asalkan beriman dan beramal salih, kata mereka.
Sebenarnya jika kita lihat dengan jernih konteks siyaq, sibaq dan lihaq dari ayat ini dan tafsir al-Qur’an bi al-Qur’an serta penjelasan para mufassir, pendapat ini jelas keliru.
Ada juga praktek ‘menggunting’ teks oleh si guru untuk membenarkan yang batil. Misalnya ketika dikatakan ahlul kitab tidak terbatas hanya pada Yahudi dan Nashrani, melainkan Buddha, Hindu, Konghucu dan Shinto pun termasuk ahlul kitab. Mereka mengutip pendapat Rasyid Ridha, tapi mengabaikan peringatan beliau akan seriusnya bahaya pernikahan antara laki-laki Muslim dengan perempuan ahlul kitab. (Lihat, Tafsir al-Manar (1948), IV: 193)
Dalam pembahasan ilmu kalam, sufastha’iyyah atau faham sophisme ini menjadi perbincangan tersendiri, bahkan Imām al-Nasafī memasukkannya kedalam pembahasan akidah: ḥaqaiq al-asy-ya’ tsabitah wa al-ʿilm biha mutahaqqiq, khilafan li al-sufastha’iyyah. Artinya, hakikat quidditas atau esensi segala sesuatu itu tetap, tidak berubah (yang berubah itu hanyalah sifatnya saja). Pengetahuan tentangnya benar adanya yang bersalahan dengan golongan sufastha’iyyah. (Saʿd al-Din al-Taftazani, Syarh ʿAqa’id al-Nasafiyyah (2000), hlm 20-21)
Al-Baghdadi adalah orang yang pertama membagikan sufastha’iyyah kedalam tiga bentuk yang kemudian diikuti oleh Imam al-Nasafi. Mereka adalah: pertama al-ʿindiyyah atau relativisme. Kelompok ini meyakini bahwa tidak ada yang objektif dalam ilmu dan kebenaran.
Semuanya bersifat subjektif. Ringkasnya, kelompok ini meyakini bahwa kebenaran itu tergantung kepada orang yang mengatakannya.
Kedua, al-ʿinadiyyah atau skeptisisme yang bermakna the obstinate alias keras kepala. kelompok ini merasa ‘masa bodoh’ dengan kebenaran walaupun kebenaran itu sudah jelas. Ringkasnya, kelompok ini mengatakan bahwa tidak ada manusia yang tahu.
Ketiga al-la adriyyah atau agnotisisme. Kelompok ini selalu ragu dalam melihat kebenaran karena tidak tahu hakikat kebenaran itu sendiri. ‘I do not know’, begitulah tepatnya.
Ringkasnya, kelompok ini mengatakan bahwa kebenaran itu tidak dapat dicapai oleh manusia. (Syarh ʿAqa’id al-Nasafiyyah, hlm 21-22. Lihat pula Syed Muhammad Naquib al-Attas, the Oldest Known Malay Manuscript: A 16th Century Malay Translation of The ʿAqā’id al-Nasafī (1988), hlm. 48)
Kelompok ini berawal dari sebuah gerakan filsafat pada zaman Yunani kuno oleh saintis gadungan alias ‘sophist’ (Greek: sophistāi) yang dipimpin oleh Protagoras (480-410 SM), Georgias (483-375 SM), Hippias dan Prodicus. Mereka ini kelompok yang menyesatkan dengan menyebarkan faham etika dan epistomologi relativisme.
Menganggap eksistensi itu tidaklah penting dan tidak akan pernah diketahui. Agama menurut mereka hanyalah sebuah penipuan belaka, sehingga sembahyang itu tidak ada gunanya serta validitas hukum itu hanya cocok untuk waktu dan tempat tertentu saja. Kemudian juga mereka memasukkan benih-benih keraguan dalam ilmu dan kemungkinan untuk mendapatkannya serta memprakarsai faham skeptisisme. (The Oldest Known … hlm. 47-48).
Ciri-ciri dari faham ini yang telah digariskan oleh ulama kita tampak pada kelompok ‘neo-sophist’ atau mereka yang se‘nasab’ dengan mereka. Dalam bidang tafsir, tidak ada tafsir yang benar, semuanya relatif (ʿindiyyah), katanya.
Tapi aneh, mereka pun sering mengutip pendapat para mufassir yang otoritatif, tentu yang sesuai dengan selera mereka. Dalam bidang syariʿah, tidak ada lagi teks yang bersifat qathʿi (pasti) dan thawabit (tetap), semuanya dibolehkan untuk berijtihad.
“… Dengan mengecualikan ayat-ayat yang berkaitan dengan ritual murni seperti shalat, puasa, dan haji, ketentuan soal makanan dan minuman (math’umat dan masybuhat), seluruh ‘ayatul ahkam’ atau ayat-ayat hukum yang keseluruhannya turun di Madinah itu harus dianggap sebagai ayat yang berlaku temporer, kontektual, dan terbatas pada pengalaman sosial bangsa Arab abad ke-7 M. Ayat-ayat itu mencakup ketentuan tentang kewarisan, pernikahan, kedudukan perempuan, jilbab, qishas, jilid, potong tangan…”, begitulah katanya. (Abd. Moqsith Ghazali, dkk., Metodologi Studi al-Qur’an (2009), hlm. 136).
Bahkan yang lebih ‘nyeleneh’ lagi, homoseksual pun dihalalkan oleh salah seorang dari mereka. Mereka terjebak dalam keraguan yang tiada ujungnya.
Sikap Ilmuwan Muslim
Framework semacam ini digunakan dalam falsafah ilmu Barat modern dan diterima dengan ‘manut’ oleh mereka. Maka yang perlu kita tekankan disini adalah bahwa ilmu itu tidaklah netral atau bebas nilai, akan tetapi sarat nilai. Ilmu yang lahir dari rahim Barat, tidak dinafikan nilai-nilai Barat pun terselip di situ. Menolaknya secara mentah-mentah adalah bodoh.Sementara bersikap taken for granted saja, itu ceroboh. Akan tetapi pilihlah mana yang sesuai budaya dan kebenaran agama kita. Hal inilah yang dilakukan oleh para ilmuan kita pada masa lalu ketika ilmu-ilmu dan filsafat Yunani, Persia dan India digalakkan untuk dikaji. Mereka tidak langsung menerima melainkan melalui proses penyaringan terlebih dahulu seperti yang dikatakan oleh al-Kindi bahwa mereka [ilmuan Muslim] tidak menerima bulat-bulat ilmu asing, tetapi ilmu itu mestilah melalui proses penyaringan yang berasaskan adat dan agama Islam. (Al-Kindi, Al-Kindi’s Metaphysics, (1974), hlm. 58). Wallahu aʿlam bi al-shawab.
+ komentar + 1 komentar
Assalam wr wb.
Saudaraku yang dimuliakan Allah, catatan saudara sungguh sangat bagus. saya tertarik. Tapi, saudara tidak jujur, plagiat, di blog anda tulis di tulis atas nama saudara. Sungguh saudara tidak jujur, anda mengatasnamakan Blog Islam, apa itu yang dipinta Islam. Tidak! Ini tulisan saya dipublish oleh Hidayatullah dan Suara Islam beberapa waktu lalu. Saya sama sekali tidak keberatan jika tulisan ini disebarkan, malahan tambah senang semoga ini menjadi amal jariah saya dalam membinan akidah umat. tapi dengan cara dengan 'sekonyong-konyong' semacam ini, mengatasnamakan diri anda, sikap anda sudah tidak mencerminkan akhlak islami.
Semoga bermanfaat masukan saya!
Posting Komentar